Mohon tunggu...
Joseline Panduwinata
Joseline Panduwinata Mohon Tunggu... Freelancer - Yosi

Please kindly read my blogs :)

Selanjutnya

Tutup

Nature

Antara Gen Plasma Nutfah dengan Kultur Jaringan, Apa Hubungannya?

25 Agustus 2018   06:09 Diperbarui: 25 Agustus 2018   13:32 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di beberapa negara maju, seperti Perancis, Amerika, Belanda, para pemulia tanaman sudah lama menggunakan teknik kultur jaringan untuk mendapatkan bibit yang bermutu, terutama bagi tanaman perkebunan, perhutanan, dan hortikultura. Namun, apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Kalian mungkin sering mendengar mengenai istilah kultur jaringan, terutama dalam pelajaran Biologi, tetapi apakah arti sebenarnya dari istilah tersebut? 

Pada dasarnya, tanaman merupakan makhluk hidup yang dapat memperbanyak diri sendiri tanpa memerlukan bantuan dari manusia. Perbanyakan diri tersebut dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perbanyakan generatif, dan perbanyakan vegetatif. 

Perbanyakan generatif adalah perbanyakan dengan cara mempertemukan tanaman induk jantan dan betina yang kemudian terjadi penyerbukan dan menghasilkan buah, dengan biji di dalamnya. Sedangkan perbanyakan vegetatif adalah perbanyakan tanaman tanpa proses kawin, misalnya dengan cara stek, cangkok, okulasi, kultur jaringan, dll.

Kultur jaringan sendiri merupakan teknik memperbanyak diri dengan cara mengisolasi bagian dari tanaman (protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan/organ) yang dipindahkan dari lingkungan alaminya, dan kemudian ditumbuhkan pada media buatan yang sesuai dan kondisinya aseptik. 

Teknik ini biasa disebut juga kultur 'in vitro' yang berarti 'di dalam kaca', karena teknik ini menggunakan botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu untuk membiakkan jaringan tersebut. 

Bagian-bagian tersebut kemudian memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Hal ini disebabkan karena teknik kultur jaringan didasarkan pada teori bahwa seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan dan sel hidup, sehingga dapat berkembang biak.

Teknik kultur jaringan merupakan salah satu teknik perbanyakan diri tanaman yang telah banyak digunakan, sebab teknik ini memiliki peluang keberhasilan yang cukup besar. Sebenarnya, pengaplikasian kultur jaringan tidak hanya bisa pada tanaman saja, namun juga bisa pada hewan, namun pada hal tersebut teknik ini tidak membentuk individu baru, serta biayanya tergolong mahal sehingga jarang dilakukan. Dalam hal pengaplikasian teknik kultur jaringan pada tanaman, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan.

Yang pertama adalah eksplan, yang merupakan bagian dari tanaman yang digunakan sebagai bahan suatu inisiasi suatu kultur, eksplan harus diambil dari induk yang telah terpilih. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih eksplan adalah umur fisiologinya, organ yang menjadi sumber bahan tanaman, dan ukuran eksplan. 

Pengambilan bagian tanaman yang masih berumur muda (juvenil), lebih baik dibanding dengan tanaman yang sudah tua, karena tanaman yang masih muda memiliki jaringan regenerasi yang lebih tinggi dibanding tanaman dewasa. Yang kedua adalah organ yang digunakan sebagai sumber bahan tanaman. 

Pada tanaman jati, bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan kultur jaringan adalah tunas juvenil. Tunas tersebut didapatkan dengan melakukan pemangkasan berat, yang kemudian dijadikan eksplan. 

Yang ketiga adalah ukuran eksplan, dimana tunas dengan ukuran besar lebih tahan ketika dipindahkan ke dalam kondisi kultur, pertumbuhannya lebih cepat, dan lebih banyak menghasilkan mata tunas aksilar dibanding dengan tunas yang berukuran lebih kecil. Namun, kelemahannya adalah sulit mendapatkan kultur yang aseptik, serta memerlukan bahan tanaman yang lebih banyak.

Lalu, faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan metode kultur jaringan adalah media kultur. Unsur penting dalam media kultur adalah vitamin, garam anorganik, sumber energi, zat pengatur tumbuh, serta karbon. Garam anorganik yang digunakan terdiri dari unsur hara yang esensial, serta karbohidrat yang umumnya berupa gula.

Faktor ketiga yang mempengaruhi keberhasilannya adalah zat pengatur tumbuh tanaman (ZPT). Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam jumlah sedikit (<1 milimole (mM)) mampu memacu, menghambat atau mengubah proses fisiologi tanaman (Moore, 1979). ZPT berpengaruh dalam morfogenesis dan pertumbuhan dalam kultur sel, jaringan, dan organ.

Tahap-tahap yang dilakukan pada saat melakukan metode kultur jaringan adalah tahap inisiasi, tahap multiplikasi, tahap perakaran, dan tahap aklimatisasi. Tahap yang pertama adalah tahap inisiasi, dimana tahap ini bertujuan untuk memperoleh eksplan yang bebas dari mikroorganisme dan inisiasi pertumbuhan baru.

Tahap yang kedua adalah tahap multiplikasi atau biasa disebut tahap perbanyakan, dimana pada tahap ini tunas yang tumbuh dari hasil induksi diperbanyak dengan cara dipotong setiap ruasnya dan ditanam pada media perbanyakan. Media perbanyakan ini pada umumnya lebih banyak mengandung sitokinin.

Sitokinin adalah suatu senyawa yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta mampu meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tumbuhan. Sitokinin ini sangat berperan dalam diferensiasi, pembelahan, dan perpanjangan sel, serta pembentukan organ. Dalam medium kultur jaringan, pemberian sitokinin ini sangat penting untuk menginduksi tumbuh kembang eksplan.

Tahap yang ketiga adalah tahap perakaran, dimana tahap ini bertujuan untuk membentuk akar dan plantlet yang mandiri serta membentuk pucuk tanaman yang kuat untuk bertahan hidup sampai ketika dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan alamiahnya. Tunas yang dihasilkan dari tahap multiplikasi yang belum memiliki akar kemudian dipindahkan ke media yang mengandung lebih banyak auksin.

Auksin adalah hormon yang berperan dalam mempercepat tumbuhnya tanaman dengan cara merangsang pembelahan dan pembesaran sel, serta dengan berinteraksi dengan hormon lainnya.

Tahapan yang keempat serta merupakan yang terakhir adalah tahap aklimatisasi, yang merupakan tahapan suatu organisme untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. 

Plantlet hasil kultur jaringan sering masih terasa sulit untuk dipelihara dengan kondisi lingkungan alamiahnya karena masih sangat peka, sehingga dibutuhkan tahap adaptasi atau aklimatisasi tersebut. Proses adaptasi ini bisa dibilang sangat penting dan merupakan kunci penentu apakah tanaman yang berasal dari in-vitro dapat beradaptasi atau tidak dapat beradaptasi dalam kondisi in-vivo. 

Dalam tahap ini, dilakukan pemindahan eksplan dari ruangan aseptik ke rumah kaca. Pemindahan ini dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, dengan cara memberikan sungkup untuk melindungi bibit yang masih sangat rentan akan serangan hama penyakit serta udara di luar. 

Setelah nantinya bibit dapat beradaptasi dengan lingkungan luar, maka sungkup akan dilepas secara bertahap, dan pemeliharaan bibit akan dilakukan seperti pemeliharaan bibit generatif.

Beberapa negara memiliki kebutuhan yang tinggi akan bibit tanaman unggul, misalnya untuk pertanian, serta dengan harga yang terjangkau. Namun bibit unggul yang dihasilkan para pemulia tanaman sangat terbatas jumlahnya. Apabila penyediaan bibit unggul dilakukan dengan menggunakan biji, maka pertumbuhan tanaman yang dihasilkan tidak seragam dan tidak sama dengan induknya, karena terjadi segregasi genetik secara alami. 

Namun, apabila menggunakan teknik vegetatif yang secara konvensional, seperti cangkok, stek, okulasi, dll, maka dibutuhkan bahan tanaman yang sangat banyak sehingga sulit untuk menyeimbangkannya dengan kebutuhan. Namun, hal ini tidak berlaku bagi teknik kultur jaringan tanaman, sebab kultur jaringan mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang unggul dalam waktu cepat dan bebas dari penyakit, hanya memerlukan bagian kecil dari tanaman asal, tidak dipengaruhi oleh musim, tidak diperlukan daerah pembibitan yang luas, serta memiliki sifat yang sama persis dengan induknya, baik secara fisiologi maupun morfologi. 

Melalui teknik ini, bibit unggul dapat diklon untuk dikembangkan dengan cepat setiap waktu karena menghasilkan tunas yang berjumlah banyak. Selain itu, penggunaan bibit yang merupakan hasil dari kultur jaringan mampu menghemat biaya pemeliharaan seperti mengurangi biaya penyulaman atau seleksi bibit inferior, serta umur produksinya juga lebih singkat. 

Namun, selain memiliki keuntungan, dalam teknik kultur jaringan juga terdapat beberapa kekurangan, misalnya munculnya variasi somaklonal yang menyebabkan penyimpangan fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Selain itu, kekurangan dalam teknik kultur jaringan bagi Indonesia adalah anggapan bahwa dibutuhkan modal investasi awal yang cukup besar untuk pengaplikasiannya, teknologi yang belum terlalu memadai, masih rendahnya jumlah sumber daya manusia yang mampu menguasai dan terampil dalam teknik kultur jaringan, serta penggunaan teknik ini mampu mengurangi atau menutup lapangan pekerjaan bagi orang lain sebab dengan teknik ini, bibit yang dihasilkan per tahun dapat mencapai 200.000 (dua ratus ribu) per orang.

Plasma nutfah merupakan materi genetika dari suatu organisme yang mengatur perilaku kehidupan secara turun-temurun, jadi setiap populasi memiliki perbedaan dengan yang lainnya. 

Plasma nutfah merupakan salah satu bahan dasar yang penting dalam pemuliaan tanaman. Plasma nutfah tanaman yang dimiliki Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 4418 spesies, sehingga Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas dunia, hal ini disebabkan karena luasnya daerah penyebaran spesies di Indonesia. Walaupun daerah penyebarannya luas, namun 5% dari tanaman tersebut hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu (endemik).

Spesies endemik tersebut sangat rawan terhadap kelangkaan/ kepunahan, terutama apabila habitatnya mengalami bencana alam dengan tingkat intensitas yang tinggi, atau bahkan dijadikan lahan pembangunan. Kelangkaan plasma nutfah dapat dibagi berdasarkan tingkat kedaruratannya, yaitu punah, punah di alam, kritis, genting, dan rawan.

Salah satu penyebab kepunahan tanaman endemik juga karena banyaknya jumlah spesies baru yang bermunculan di suatu daerah, sehingga tanaman lokal tidak dapat menoleransi nya, dan sedikit demi sedikit akan mengalami kepunahan. Hal ini dapat dikaitkan ketika suatu negara mengambil gen plasma nutfah dari negara lain untuk dikembangkan di negaranya.

Saya tidak setuju apabila hal tersebut terjadi, karena dapat menyebabkan plasma nutfah asli dari si negara pengambil semakin berkurang seiring bertambahnya gen plasma nutfah pendatang, sehingga lama kelamaan akan punah. 

Namun, bagi negara pengambil plasma nutfah, yang umumnya adalah negara maju, dimana memiliki teknologi yang memadai serta pengetahuan yang telah lebih maju, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari pengambilan gen plasma nutfah tersebut, misalnya untuk perbaikan kualitas tanaman, seperti gen untuk ketahanan penyakit, gulma, serangga, atau bahkan gen untuk ketahanan terhadap keadaan lingkungan abiotik yang ekstrem, misalnya untuk negara dengan empat musim dimana biasa terjadi perubahan keadaan lingkungan yang sangat drastis. 

Maka dari itu, mereka mengambil gen plasma nutfah dari negara yang memiliki plasma nutfah besar, misalnya Indonesia, dimana biasanya juga teknologi yang tersedia belum mencukupi, baik secara kuantitas maupun kualitas, untuk mengelolanya secara maksimal.

Selain berkurangnya plasma nutfah dari negara pengambil, bagi negara yang diambil tentunya akan mengalami kerugian dari sisi ekonominya. Sebab, akan berkurangnya konsumen yang akan mengimpor hasil dari tanaman tersebut. Atau, apabila dilihat dari sisi kelingkungannya, tentu plasma nutfah dari daerah tersebut akan berkurang dan apabila pengambilannya tidak sesuai dengan peraturan atau tidak disertai dengan pengawasan yang baik, bisa jadi justru akan terjadi kepunahan. 

Sehingga ada baiknya untuk negara dengan plasma nutfah yang besar tersebut untuk semakin memfokuskan dalam pengelolaan plasma nutfah yaitu dengan melestarikan, mengembangkan, memanfaatkannya secara berkelanjutan, serta mengetatkan pengawasan, karantina, dan bertumpu pada peraturan perundang-undangan.

Namun, apabila dilihat dari sisi lain, pengambilan gen ini juga merupakan hal yang baik untuk mencegah kepunahan spesies di suatu negara. Oleh karena itu, hal tersebut sah saja dilakukan apabila dilakukan sesuai dengan prosedur serta pengawasan yang tepat.

Sekian tulisan dari saya mengenai kultur jaringan. Semoga tulisan saya dapat bermanfaat bagi para pembaca. Maaf apabila terdapat kesalahan huruf maupun kata. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA:
file:///D:/Essay%20kultur%20jaringan/prinsip-dasar-kultur-jaringan.pdf
(diunduh tanggal 23 Agustus 2018)
file:///C:/Users/HP/Downloads/Documents/13_nursyamsi_cetak_Kultur-Jaringan.pdf
(diunduh tanggal 20 Agustus 2018)
file:///C:/Users/HP/Downloads/Documents/FINAL_FULL.pdf (diunduh
tanggal 23 Agustus 2018)
file:///C:/Users/HP/Downloads/Documents/Potensi-Inovasi-Biotek-Kul.pdf
(diunduh tanggal 23 Agustus 2018)
https://bisakimia.com/2016/05/12/in-vitro-in-vivo/ (diakses tanggal 20
Agustus 2018)
https://distan.bulelengkab.go.id/artikel/plasma-nutfah-58 (diakses
tanggal 24 Agustus 2018)
http://hariannetral.com/2014/09/pengertian-dan-fungsi-sitokinin.html#
(diakses tanggal 23 Agustus 2018)
http://www.academia.edu/7389323/Makalah_Kultur_Jaringan (diakses
tanggal 20 Agustus 2018)
http://www.ebiologi.net/2015/12/Pengertian-teknik-kultur-jaringan.html
(diakses tanggal 24 Agustus 2018)

Irnaningtyas. 2013. Biologi untuk SMA/MA kelas XI kurikulum 2013
Kelompok Peminatan Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam. Erlangga, Jakarta.
Sumber Gambar:
https://infoana.com/wp-content/uploads/2017/12/kultur-jaringan.jpg
(diunduh tanggal 24 Agustus 2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun