Beberapa negara memiliki kebutuhan yang tinggi akan bibit tanaman unggul, misalnya untuk pertanian, serta dengan harga yang terjangkau. Namun bibit unggul yang dihasilkan para pemulia tanaman sangat terbatas jumlahnya. Apabila penyediaan bibit unggul dilakukan dengan menggunakan biji, maka pertumbuhan tanaman yang dihasilkan tidak seragam dan tidak sama dengan induknya, karena terjadi segregasi genetik secara alami.Â
Namun, apabila menggunakan teknik vegetatif yang secara konvensional, seperti cangkok, stek, okulasi, dll, maka dibutuhkan bahan tanaman yang sangat banyak sehingga sulit untuk menyeimbangkannya dengan kebutuhan. Namun, hal ini tidak berlaku bagi teknik kultur jaringan tanaman, sebab kultur jaringan mampu menghasilkan bibit dengan kualitas yang unggul dalam waktu cepat dan bebas dari penyakit, hanya memerlukan bagian kecil dari tanaman asal, tidak dipengaruhi oleh musim, tidak diperlukan daerah pembibitan yang luas, serta memiliki sifat yang sama persis dengan induknya, baik secara fisiologi maupun morfologi.Â
Melalui teknik ini, bibit unggul dapat diklon untuk dikembangkan dengan cepat setiap waktu karena menghasilkan tunas yang berjumlah banyak. Selain itu, penggunaan bibit yang merupakan hasil dari kultur jaringan mampu menghemat biaya pemeliharaan seperti mengurangi biaya penyulaman atau seleksi bibit inferior, serta umur produksinya juga lebih singkat.Â
Namun, selain memiliki keuntungan, dalam teknik kultur jaringan juga terdapat beberapa kekurangan, misalnya munculnya variasi somaklonal yang menyebabkan penyimpangan fenotip dari sifat genetik tanaman induknya. Selain itu, kekurangan dalam teknik kultur jaringan bagi Indonesia adalah anggapan bahwa dibutuhkan modal investasi awal yang cukup besar untuk pengaplikasiannya, teknologi yang belum terlalu memadai, masih rendahnya jumlah sumber daya manusia yang mampu menguasai dan terampil dalam teknik kultur jaringan, serta penggunaan teknik ini mampu mengurangi atau menutup lapangan pekerjaan bagi orang lain sebab dengan teknik ini, bibit yang dihasilkan per tahun dapat mencapai 200.000 (dua ratus ribu) per orang.
Plasma nutfah merupakan materi genetika dari suatu organisme yang mengatur perilaku kehidupan secara turun-temurun, jadi setiap populasi memiliki perbedaan dengan yang lainnya.Â
Plasma nutfah merupakan salah satu bahan dasar yang penting dalam pemuliaan tanaman. Plasma nutfah tanaman yang dimiliki Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 4418 spesies, sehingga Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas dunia, hal ini disebabkan karena luasnya daerah penyebaran spesies di Indonesia. Walaupun daerah penyebarannya luas, namun 5% dari tanaman tersebut hanya tumbuh di daerah-daerah tertentu (endemik).
Spesies endemik tersebut sangat rawan terhadap kelangkaan/ kepunahan, terutama apabila habitatnya mengalami bencana alam dengan tingkat intensitas yang tinggi, atau bahkan dijadikan lahan pembangunan. Kelangkaan plasma nutfah dapat dibagi berdasarkan tingkat kedaruratannya, yaitu punah, punah di alam, kritis, genting, dan rawan.
Salah satu penyebab kepunahan tanaman endemik juga karena banyaknya jumlah spesies baru yang bermunculan di suatu daerah, sehingga tanaman lokal tidak dapat menoleransi nya, dan sedikit demi sedikit akan mengalami kepunahan. Hal ini dapat dikaitkan ketika suatu negara mengambil gen plasma nutfah dari negara lain untuk dikembangkan di negaranya.
Saya tidak setuju apabila hal tersebut terjadi, karena dapat menyebabkan plasma nutfah asli dari si negara pengambil semakin berkurang seiring bertambahnya gen plasma nutfah pendatang, sehingga lama kelamaan akan punah.Â
Namun, bagi negara pengambil plasma nutfah, yang umumnya adalah negara maju, dimana memiliki teknologi yang memadai serta pengetahuan yang telah lebih maju, mereka bisa mendapatkan keuntungan dari pengambilan gen plasma nutfah tersebut, misalnya untuk perbaikan kualitas tanaman, seperti gen untuk ketahanan penyakit, gulma, serangga, atau bahkan gen untuk ketahanan terhadap keadaan lingkungan abiotik yang ekstrem, misalnya untuk negara dengan empat musim dimana biasa terjadi perubahan keadaan lingkungan yang sangat drastis.Â
Maka dari itu, mereka mengambil gen plasma nutfah dari negara yang memiliki plasma nutfah besar, misalnya Indonesia, dimana biasanya juga teknologi yang tersedia belum mencukupi, baik secara kuantitas maupun kualitas, untuk mengelolanya secara maksimal.