Saat ini, banyak orang yang mengeluh karena penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).Â
Tidak hanya siswa dan orangtua, guru-guru pun merasa tidak nyaman dengan perubahan dari pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring.
Pandemi Covid-19 memang telah mengubah banyak tatanan kehidupan manusia. Kehadiran virus Corona secara tiba-tiba, telah mengejutkan dunia kesehatan, situasi sosial dan ekonomi, tak terkecuali dunia pendidikan.
Seolah tak memberi kesempatan kita untuk bersiap-siap, pandemi Covid-19 telah memaksa dunia pendidikan beralih ke dunia maya.Â
Pembelajaran di kelas telah diganti secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi khususnya komputer dan gawai.
Perubahan ini mengingatkan kita bahwa untuk segala sesuatu di dunia ini memang ada masanya. Demikian pula cara dan metode guru dalam mengajar, selalu berubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Sebelum pembelajaran online dengan menggunakan perangkat digital saat ini, kita mengenal spidol dan whiteboard sebagai alat mengajar utama guru di dalam kelas.Â
Untuk sekolah-sekolah dengan perangkat teknologi yang memadai, juga tersedia proyektor LCD yang sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan infocus.
Perkembangan teknologi dan era digital, memang telah banyak membantu kehidupan manusia. Termasuk dalam proses pembelajaran, integrasi teknologi dalam proses pembelajaran akan sangat membantu guru menyajikan materi pelajaran dengan lebih baik.
Kita tentu sangat bersyukur hidup di era melek teknologi saat ini. Jika menilik jauh ke belakang, betapa kita akan berpikir bagaimana sulitnya orang-orang zaman dulu belajar dengan peralatan yang sangat sederhana dan terbatas.
Di Indonesia, kita mengenal "sabak" sebagai alat belajar mengajar zaman dulu. Sekitar tahun 1960-an, sabak merupakan alat tulis yang wajib dimiliki oleh setiap siswa sebelum hadirnya era kertas.
Sabak adalah papan tulis kuno yang terbuat dari lempengan batu karbon yang dicetak berbentuk segi empat. Bentuknya menyerupai papan tulis mini masa kini, hanya terbuat dari batu yang keras dan tentu saja berat.
Untuk menulis pada sabak, digunakan "grip" yang juga dari batu dan dibentuk mirip dengan pensil masa kini.Â
Tak terbayang, bagaimana siswa zaman itu membawa batu dari rumah ke sekolah dengan cara menjinjing, karena tentu saja belum ada tas sekolah seperti sekarang ini.
Belum lagi bicara soal jauhnya sekolah dari rumah dan kebanyakan anak-anak harus berjalan kaki sejauh berkilo-kilo meter tanpa sepatu.Â
Betapa besarnya semangat siswa zaman itu untuk mengenyam pendidikan.
Sabak tentu saja tidak memiliki kemampuan menyimpan tulisan seperti komputer dengan piranti penyimpanannya.Â
Jika sabak telah terisi penuh dengan tulisan, maka harus segera dihapus agar dapat digunakan untuk pelajaran berikutnya.
Karena itu, sembari menulis saat belajar bersama guru di sekolah, siswa harus terlatih untuk memiliki kemampuan menghafal yang baik.Â
Jika tidak, maka setelah pulang ke rumah tidak akan ada pelajaran yang diingat karena tidak ada catatan yang dapat dibaca kembali untuk mengulang pelajaran di sekolah.
Memasuki tahun 1990, sekolah sudah mulai menggunakan papan tulis hitam untuk kegiatan belajar mengajar di dalam kelas.Â
Papan tulis saat itu mirip dengan whiteboard sekarang, hanya permukaannya kesat karena terbuat dari papan tripleks yang dicat berwarna hitam.
Untuk keperluan menulis di papan, guru menggunakan kapur batangan.Â
Umumnya berwarna putih, tetapi tersedia juga kapur tulis dengan berbagai warna. Namun kapur berwarna ini jumlahnya lebih terbatas, sehingga sering kali diambil oleh anak-anak untuk dibawa pulang.
Kapur putih sudah jauh lebih enak digunakan dibandingkan dengan menuliskan grid pada sabak. Untuk menghapus tulisan di papan tulis pun sangat mudah, hanya dengan menggunakan penghapus papan yang terbuat dari kayu dengan permukaannya dilapisi semacam sponge.
Biasanya, sisa kapur tulis yang sudah sangat pendek tidak lagi digunakan oleh guru untuk mengajar. Anak-anak biasa menggunakannya untuk saling lempar atau untuk menulis di tembok sekolah atau dinding kelas.
Namun, kapur sebenarnya sangat tidak sehat digunakan sebagai alat untuk belajar mengajar di kelas. Debu yang dihasilkan dari menghapus tulisan kapur pada papan, dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan pernafasan jika terhirup oleh hidung.
Penggunaan kapur dan papan tulis hitam tentu saja hanya saat belajar di dalam kelas. Karena telah tersedia kertas dan pensil, siswa menuliskan materi yang diajarkan guru di buku sehingga dapat dibaca kembali saat mengulang pelajaran di rumah.
Era kapur tulis dengan dampak buruk debu yang dihasilkannya pun kemudian digantikan dengan kehadiran spidol dan whiteboard yang kita gunakan untuk proses belajar mengajar di kelas saat ini.Â
Tidak hanya ada di dalam kelas, whiteboard dan spidol juga lebih aman untuk belajar anak-anak di rumah. Namun di saat PJJ sekarang ini, whiteboard di kelas juga sudah tidak pernah digunakan lagi oleh guru untuk mengajar. Saat ini guru memberikan materi pedlajaran melalui buku cetak atau bahan ajar digital.
Bahan ajar yang digunakan saat ini dikemas berupa teks berbentuk file. Atau dapat pula kombinasi antara teks, suara dan gambar yang dikemas dalam bentuk video pembelajaran yang dikirimkan oleh guru berupa link YouTube atau file video melalui komputer atau gawai.
Bagi keluarga-keluarga tertentu yang tidak memiliki komputer atau laptop, gawai menjadi media belajar untuk menerima file materi pelajaran.Â
Dengan bantuan aplikasi seperti WhatsApp atau Google Classroom, proses pembelajaran pun dilaksanakan secara daring seperti saat ini.
Demikianlah alat belajar dan mengajar yang dipakai guru telah bertransformasi dari masa ke masa. Dari sabak, kini di masa PJJ alat dan media mengajar guru telah beralih ke perangkat teknologi berbasis digital seperti komputer dan gawai.
Meski peralihan ini terjadi karena dipaksa pandemi Covid-19, namun integrasi teknologi digital dalam dunia pendidikan sesungguhnya adalah wajah masa depan pendidikan kita.Â
Kelak saat kelas dibuka kembali, adalah keharusan bagi guru untuk tetap mengintegrasikan teknologi dengan tingkat yang beragam.
Penerapan teknologi dalam pendidikan saat ini, telah mengantarkan kita pada pintu era industri 4.0. Dan adalah tugas guru untuk membuat anak-anak didik sekarang bersiap memasuki dunia baru ini.
Konten pembelajaran yang dihadirkan oleh guru tidak lagi relevan jika hanya sampai pada ranah mengetahui atau menghafal. Bahkan, untuk kemampuan menerapkan pun seharusnya mulai ditinggalkan.
Proses pembelajaran saat ini harus dirancang agar siswa minimal memiliki kemampuan melakukan analisa. Karena untuk level di pengetahuan di bawahnya, sudah dapat dilakukan dengan mengakses atau memanfaatkan teknologi digital.
Jika pembelajaran yang dilakukan guru hanya bermuara pada level kognitif menyebutkan atau menjelaskan, maka dengan bantuan Google dan internet, setiap soal yang diberikan akan dapat ditemukan jawabannya.
Kebutuhan siswa saat ini minimal pada level kognitif menganalisa atau membedakan. Untuk melakukan ini, diperlukan pemahaman definisi dan penerapan prinsip dan konsep untuk mengambil suatu keputusan dengan kemampuan berpikir kritis.
Lebih jauh jika memungkinkan tentu saja proses pembelajaran harus dirancang hingga ke level membuat atau mencipta.Â
Dengan demikian, siswa dilatih untuk kreatif dan inovatif. Inilah tuntutan pendidikan abad 21 yang dikenal dengan 4C (Critical Thinking, Communication, Collaboration, Creativity and Innovation).
Termasuk keterampilan berkomunikasi dan berkolaborasi. Kedua kompetensi ini perlu dimiliki oleh siswa di abad 21 ini, karena tidak semua pekerjaan dapat diselesaikan sendiri.Â
Dan juga, dengan kedua keterampilan ini akan semakin mamaksimalkan potensi diri dan kelompok untuk kreatif menghasilkan ide-ide dan hal baru yang ivovatif.
Untuk menghadirkan 4C dalam proses pembelajaran, tentu akan sangat sulit jika hanya mengandalkan spidol dan papan tulis. Karena itu, integrasi teknologi digital mutlak diperlukan dalam pembelajaran untuk membuka cakrawala berpikir siswa.
Kelimpahan informasi yang ditawarkan oleh teknologi digital harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam pembelajaran. Sekarang tinggal tugas guru, bagaimana mengintegrasikannya dalam proses pembelajaran sekarang dan di masa mendatang.
Zaman boleh berganti, tantangan yang hadir bisa berabeda-beda, tetapi satu hal yang tidak boleh berubah, yaitu kegigihan dan semangat siswa dan guru untuk belajar dan mengajar harus tetap menyala.
Selamat Hari Guru Nasional 2020: Bangkitkan Semangat, Wujudkan Merdeka Belajar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H