Mohon tunggu...
Jose Hasibuan
Jose Hasibuan Mohon Tunggu... Seorang abdi bangsa

Tertarik pada dunia pendidikan, matematika finansial, life style, kehidupan sosial dan budaya. Sesekali menyoroti soal pemerintahan. Penikmat kuliner dan jalan-jalan. Senang nonton badminton dan bola voli.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Negatif Palsu Rapid Test yang Bikin Susah Pasien Covid-19

2 Juni 2020   16:12 Diperbarui: 2 Juni 2020   16:27 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustasi Gambar : ayobandung.com

Artikel ini saya tulis berdasarkan pengalaman salah satu anggota keluarga yang terkena Covid-19 tanpa bermaksud menyudutkan salah satu Rumah Sakit. Murni berdasarkan pengalaman keluarga, dan bagaimana Rapid Test telah membuat kesusahan bagi kami.

Rapid Test covid-19 adalah test diagnostik yang banyak dilakukan Rumah Sakti (RS) di Indonesia untuk mendeteksi kemungkinan seseorang terinfeksi virus corona.

Test ini banyak dilakukan karena dapat diterapkan untuk uji sampel dalam jumlah besar. Keuntungan lainnya, hasil uji sampel Rapid Test dapat diketahui hanya dalam waktu 10 menit saja, jauh lebih cepat ketimbang metode lain yang butuh waktu hingga tiga hari.

Rapid Test merupakan salah satu metode skrining awal untuk mendeteksi antibodi yang diproduksi oleh tubuh akibat masuknya virus.

Test ini dilakukan dengan memeriksa sampel darah seseorang yang diambil dari salah satu ujung jari, lalu mengujinya pada alat Rapid. Secara visual hasil uji sampel Rapid Test mirip visualisasi pada alat test kehamilan.

Namun di beberapa kasus pasien corona, Rapid Test ternyata memberikan kesimpulan "negatif palsu" pada sampel darah yang diuji. Kemungkinan ini bisa terjadi karena pemilihan waktu pengambilan sampel yang kurang tepat.

Jika antibodi orang terduga corona belum terbentuk saat dilakukan Rapid Test, maka hasil "negatif palsu" sangat mungkin terjadi.

Ini karena Rapid Test bertujuan mendeteksi munculnya antibodi dalam tubuh. Hal ini akan menimbulkan masalah dikemudian hari bagi si pasien. Rumah Sakit tidak bersedia untuk merawat, sementara virus sebenarnya telah bersarang di dalam tubuh pasien.

Inilah yang dialami oleh orang tua kami di Pondok Gede, Kota Bekasi. Secara detail kisah yang dialami oleh bapak dan saya tuliskan disini menimbulkan kekesalan bagi seluruh keluarga, sehingga saya sampai pada kesimpulan bahwa Rapid Test justru bikin susah bagi beberapa pasien.

Selasa (24/03/2020), bapak merasakan demam dengan suhu tubuh lebih dari 38 derajat. Keesokan harinya, bapak segera pergi ke Rumah Sakit terdekat dengan rumah untuk memeriksakan diri.

Rumah Sakit selanjutnya melakukan test labor darah secara umum untuk menganalisa kondisi bapak. Karena hasil lab tidak terlalu mengkuatirkan, maka bapak diberikan beberapa jenis obat untuk selanjutnya beristirahat di rumah.

Kondisi demam bapak terus berlanjut. Pada hari sabtu (28/03/2020), kami memutuskan untuk membawa bapak ke Rumah Sakit yang lebih besar di daerah Jakarta Timur agar bapak mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

Di Rumah Sakit ini, bapak diterima di IGD dan selanjutnya dilakukan Test Labor dengan uji sampel darah. Hasil uji sampel darah menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah putih yang mengarah pada kemungkinan bentuk pertahanan tubuh melawan masuknya virus atau bakteri. Namun, pemeriksaan tidak dilakukan lebih lanjut lagi, bapak diberikan beberapa jenis obat dan diminta beristirahat di rumah.

Karena tidak puas dengan hasil pemeriksaan dari RS ini, kami pun membawa bapak ke RS lainnya di sekitar Kota Bekasi.

Setelah menunjukkan hasil lab dari RS sebelumnya, di RS yang baru ini bapak selanjutnya dilakukan Rontgen Thorax. Hasil scan thorax pada paru menyimpulkan bapak mengalami Pneumonia, yang merupakan indikasi awal seseorang dinyatakan sebagai PDP corona.

Namun sekali lagi, bapak hanya diberikan sejumlah obat dan meminta kami membawa kembali bapak pulang ke rumah untuk beristirahat.

Karena kembali tidak puas dengan hasil pemeriksaan ini, hari itu juga kami membawa bapak ke RSD Wisma Atlet. Sesampainya disana, bapak diperiksa di IGD dan langsung dilakukan Rapid Test. Besar harapan kami saat itu bapak dirawat disana karena kondisinya terus melemah.

Namun ternyata hasil Rapid Test menunjukkan kesimpulan non reaktif, RSD Wisma Atlet menyimpulkan bapak mengalami infeksi bakteri, bukan karena terinfeksi virus corona.

Saat itu jam menunjukkan hampir pukul 00 dini hari. Dengan berat hati, akhirnya kami membawa bapak pulang untuk perawatan mandiri di rumah.

Bapak masih terus menerus mengalami demam hingga beberapa hari ke depan. Tidak hanya suhu tubuh yang tetap tinggi, bapak mulai mengeluhkan pegal-pegal dan merasakan tubuh yang makin lemah.

Nafas bapak terlihat mulai lebih cepat, dalam 1 menit terhitung hingga 30 tarikan nafas. Gejala-gelaja klinis ini makin meyakinkan kami bahwa bapak sebenarnya terinfeksi virus corona.

Rabu (1/4/2020) adalah hari kesembilan bapak terus menerus mengalami demam. Kondisi yang membuat kekuatiran kami makin memuncak. Lalu kami berusaha membawa bapak ke beberapa Rumah Sakit besar agar mendapatkan perawatan rawat inap.

Namun, kami kembali mengalami kekecewaan terhadap penanganan RS. Salah satu RS yang kami datangi bahkan tak mengizinkan bapak masuk ke area dalam RS dan meminta bapak tetap menunggu di dalam mobil. Salah satu dokter hanya meminta berkas-berkas medis dari RS sebelumnya untuk mengalanisa kondisi bapak.

Kali ini, RS tersebut mentah-mentah menolak untuk menerima bapak, dengan alasan gejala Pneumonia dari hasil rontgen RS sebelumnya dan RS tersebut tidak siap menerima pasien dengan gejala covid-19.

Kami pun segera membawa bapak ke salah satu RS Pusat Rujukan Covid-19. Disana bapak juga tidak diperiksa di IGD. Petugas medis hanya meminta berkas rekam medis dari RS sebelumnya. Setelah melihat hasil Rapid Test negatif, RS tersebut juga menolok menerima bapak dengan alasan RS tersebut hanya menerima pasien yang tekonfirmasi positif cocid-19.

Kami pun berinisiatif kembali membawa bapak hari itu juga ke RSD Wisma Atlet. Disana bapak kembali dilakukan Rapid Test, dan lagi-lagi hasilnya tetap negatif. Dengan kondisi tubuh yang makin lemah, ditambah beban psikis karena penolakan dari beberpa RS sebelumnya, bapak akhirnya kembali dibawa pulang ke rumah. Secara keseluruhan, bapak telah bolak balik ke 10 RS sejak 25 Maret hingga 1 April 2020, dan semuanya tidak bersedia menerima bapak untuk rawat inap.

Malam harinya, saat bapak telah istirahat karena kelelahan bolak balik ke beberapa RS, saya coba menyampaikan kondisi yang kami alami dengan 3 teman dokter yang saya kenal dan bekerja di Jakarta dan sekitarnya.

Setelah mendengar cerita saya, ketiga rekan dokter ini menyampaikan pada saya kemungkinan 2 kali hasil Rapid Test bapak adalah negatif palsu.

Ini terjadi mungkin saja karena faktor usia bapak yang sudah tua, sehingga antibodi nya lebih lama terbentuk. Ketiga dokter kenalan ini selanjutnya berjanji akan menolong mencarikan RS yang akan bersedia menerima dan merawat bapak.

Esoknya kami mendapat kabar baik, salah seorang rekan dokter tadi menginformasikan bahwa ada 1 RS yang bersedia untuk menerima dan memeriksa kondisi bapak, yaitu RS Siloam Karawaci, Tangerang.

Meski posisi RS itu cukup jauh dari rumah kami di Pondok Gede, namun kabar itu sudah sangat membuat kami senang. Setelah menginformasikan kepada bapak perihal ada 1 RS yang bersedia menerima bapak, seolah-olah mendapat suntikan semangat yang besar, bapak segera bersiap-siap, merapikan diri untuk segera menuju ke RS tersebut, meski tak dapat dibohongi, secara fisik kondisinya sangat lemah.

Untuk mengantisipasi kondisi sesak nafas yang makin berat, pagi harinya kami lebih dulu mencari tabung oksigen untuk bekal bapak dalam perjalanan menuju RS. Ini kami lakukan atas masukan dari teman-teman dokter yang saya kenal tadi.

Puji Tuhan, akhirnya pada siang hari kamis (2/4/2020), bapak diterima di IGD Siloam Karawaci untuk selanjutnya diperiksa lebih lanjut terkait dugaan yang mengarah pada gejala covid-19.

Dari RS Siloam Karawaci, selanjutnya kesesokan harinya (3/4/2020) bapak dirujuk ke RS Siloam Kelapa Dua Tangerang, karena RS ini merupakan RS yang didedikasikan oleh Siloam Group untuk menangani pasien covid-19.

Hingga hari ini (2/6/2020), 70 hari setelah bapak mengalami demam pada akhir maret lalu, bapak masih dalam perawatan di RS Siloam Kelapa Dua. Secara lengkap kisah perawatan bapak di RS Siloam Kelapa Dua, hingga bagaimana ia merasakan perawatan intensif selama lebih 3 minggu di ICU akan saya sharingkan dalam tulisan berikutnya.

Kisah ini saya tuliskan agar kita terus waspada terhadap penularan virus covid-19, dan bagaimana kita tidak percaya 100% pada hasil Rapid Test karena berdasarkan pengalaman kami, hasil negatif palsu Rapid Test justru bikin susah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun