Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Nama Penulis

22 Januari 2025   11:29 Diperbarui: 22 Januari 2025   11:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki memegang gawai. Ilustrasi: iStock, credit: yacobchuk

Lelaki yang terbaring di tempat tidur pada sebuah ruangan di rumah sakit itu teman masa SMA-ku. Kami bersekolah di sebuah SMA swasta yang cukup terkemuka di kota kecamatan kami. 

Sekian lama aku tak bertemu dan berbincang dengannya, kini saat aku pulang ke kampung halaman dan menjumpainya lagi. Perjumpaan itu bukan dalam kondisi bahagia, tapi penuh rasa prihatin.

Fariz, temanku yang supel, ternyata sakit, sudah lama. Dia tak menceritakan apa sakit yang dideritanya. 

"Aku ceritakan sakitku, kamu juga nggak bisa mengurangi rasa yang kualami."

Fariz tertawa sambil menahan sakit.

"Setidaknya aku..."

"Doakan aku saja, semoga bisa lekas sembuh."

Kuanggukkan kepala. Tak lama kemudian, istriku keluar dari ruang inap Fariz. Dia memang tak bisa tahan di ruangan dengan bau obat-obatan. Ada trauma yang membuatnya begitu. Jadi, dia menemaniku ke rumah sakit kali ini, sudah aku acungi jempol.

"Tapi kalau kamu mau tahu, apa sakit yang kuderita, ada orang yang tahu."

"Istrimu kan?" tebakku. Fariz tertawa, dengan tatap mata yang terlihat aneh.

"Ada yang lain."

"Selingkuhanmu?"

"Heh, jaga ucapanmu. Aku penyakitan gini, nggak mikir perempuan lain!" Fariz tampak jengah dengan pertanyaanku tadi.

"Asteria," ucap Fariz singkat. Namun ucapan itu sangat mengejutkanku. Asteria, nama yang lama tidak ingin kuingat. Bukan karena dia buruk, tapi aku yang merasa takut dan tak berani menemuinya lagi karena aku sudah mempermainkannya. Aku memberinya harapan. Di sisi lain, sahabat baiknya juga kuperlakukan sama.

"Kamu ingat?" 

Pertanyaan Fariz itu menghujam hatiku. Perasaan bersalah selalu muncul setiap nama perempuan itu kudengar. 

"Aster menulis beberapa kisahku. Dari cerita yang kukisahkan."

"Dia penulis?"

Fariz mengangguk.

"Iya. Dia menulis kisahku, tanpa meminta bayaran. Malah dia yang minta izin untuk menulis kisahku."

"Berarti kalian memang dekat dari dulu."

"Ya memang. Kami dekat. Tapi hatinya untuk lelaki yang tak punya perasaan."

Kukerutkan dahi. Memastikan maksud dari perkataan Fariz.

"Kamu dulu..."

"Iya. Aku mencintainya, dulu..."

"Lalu...istrimu?"

"Dia tahu. Tapi mereka saling kenal. Tak ada masalah. Toh kondisiku begini. Aku bersyukur memiliki istri seperti Anin."

"Kamu sering komunikasi?"

Fariz terdiam. Seorang perawat masuk ruangan dan memeriksa perkembangan kesehatannya.

"Nggak. Dia sudah berkeluarga."

"Oh..."

"Kenapa?"

Aku diam. Dadaku terasa sesak. Memori demi memori muncul begitu saja, saat aku mencoba mendekati Asteria. Di saat mendapatkannya, mataku melirik sahabatnya. Akhirnya bubar semua.

"Kami saling mengenal. Suaminya kebetulan teman Anin."

***

Di depan sebuah lembaga bimbingan belajar, aku menunggu Lintang, putriku yang sekarang duduk di kelas IX. Sebentar lagi dia mau ujian. Makanya dia minta les di lembaga bimbingan belajar. Okelah, aku mengizinkan dan mengantar jemput. Demi masa depan Lintang, aku lakukan apapun.

Sambil menunggu Lintang keluar dari kelasnya, aku membuka handphone. Aku berselancar di dunia maya. Tepatnya membuka google dan mencoba mencari tahu tentang penulis bernama Asteria. Mungkin saja ada petunjuk tentang judul buku yang mengisahkan Fariz. Atau mungkin juga mengisahkan aku.

Sebelumnya, aku sudah mencari nama Asteria di akun sosmed baik Facebook maupun Instagram. Bahkan di platform X. Tak ketemu! Akun sosial media milik Asteria yang dulu kuikuti, kini tampak tak pernah dijamah.

Kuketikkan nama Asteria pada kolom pencarian pada peramban. Tak ada yang bersangkutan dengan nama penulis. Hanya muncul nama tokoh mitologi dari Yunani pada link artikel.

Kusulut rokok yang menemaniku saat menunggu Lintang. Mengusir rasa berat dan penasaran pada isi tulisan Asteria.

"Apaan aku ini? Sudah nyakiti Aster. Sekarang nyari-nyari tulisannya." Kutepuk dahiku. Bukankah jika aku ditulis dengan karakter jelek pun, itu kenyataan kan? Tak ada yang perlu kukhawatirkan.

***

"Kita pulang sekarang, Yah!"

Aku yang sedang berselancar, mencari nama Asteria, sangat terkejut, tiba-tiba Lintang sudah berada di belakangku. Dia tampak mengamat-amati layar handphone-ku.

"Siapa Asteria, Yah?"

"Hah?"

"Asteria itu siapa?"

Handphone segera kututup dan kumasukkan ke dalam saku.

"Seorang penulis," jawabku sambil menggandeng tangan Lintang dan mengajaknya pulang.

"Oh. Apa Asteria itu sama dengan tutor baru di bimbelku ya, Yah?"

Aku hentikan langkah dan menengok ke arah Lintang.

Lintang tak memerhatikan raut penasaranku. Dia melihat ke arah lain.

"Nah, itu Bu Asteria, tutor baruku, Yah!" tunjuk Lintang ke arah pintu keluar lembaga bimbingan belajar. Terlihat seorang wanita anggun sedang berjalan menuju sebuah mobil, dan seorang lelaki yang kutaksir usianya hampir sama denganku, menyambutnya dengan mesra.

___

Branjang, 21 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun