Kulihat sosok ganteng yang selalu tidur di sampingku. Hampir setiap malam, dia tidur mendekati tengah malam. Wajah yang bersih itu membuat aku selalu tidak tenang untuk bepergian jauh dan dalam waktu lama. Bahkan aku rela dan ikhlas dianggap sebagai seorang warga yang tak bisa bersosial dengan baik.
Sosok ganteng di sampingku, dia adalah bungsuku, Nabil. Usianya sudah tujuh tahun. Dalam bayanganku, ketika dia masih berada dalam kandungan dan terlahir di dunia, akan menjadi sosok yang normal, layaknya kedua kakaknya.
Yang kutemui dan kusaksikan, ternyata tumbuh kembangnya tak seperti anak seusianya. Sebenarnya saat usia satu tahun dan sempat opname beberapa hari di rumah sakit karena batuk panas akibat dahak memenuhi dadanya, dari pihak rumah sakit sudah memberikan masukan untuk terapi.
Ternyata terapi itu tak terlaksana. Musim hujan tiba. Bahkan beberapa hari hujan tanpa henti di wilayah perairan selatan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kuingat, nama badai yang berlangsung sekitar bulan November hingga Desember 2017 itu bernama Siklon Tropis Cempaka.
Akibat dari badai tersebut, sekolah-sekolah diliburkan, banyak wilayah yang terisolir karena transportasi terputus akibat jembatan putus.
Kondisi hujan tanpa henti itu membuat nyaliku ciut untuk membawa si bungsu ke rumah sakit untuk terapi. Dalam pikiranku, keselamatan dalam perjalanan belum tentu terjamin jika kami harus ke rumah sakit. Apalagi keluarga kami hanya memiliki sepeda motor untuk bepergian. Rasanya tak tega untuk mengajak balita usia setahun untuk menembus hujan deras dengan hawa dingin, sementara dia baru saja sembuh dari sakitnya.
"Insyaallah, Nabil akan baik-baik saja. Tumbuh kembang anak-anak kan berbeda-beda," batinku.
***
Hari demi hari, dalam hatiku terus berharap agar Nabil segera tumbuh layaknya anak lainnya. Diam-diam aku melakukan amalan yang kiranya bisa membuat Nabil segera bisa bicara dan berjalan.
Tak terkira bahagianya ketika pelan-pelan Allah mengabulkan doa dan harapanku. Meski agak terlambat, dia bisa berjalan. Ke mana pun saat berjalan yang tak kenal lelah, aku selalu mengikutinya.Â
Dalam hati kecilku, aku terus melangitkan doa agar kemampuan jalan Nabil diikuti dengan celoteh-celoteh yang menggemaskan. Namun, hanya beberapa kata yang diucapkan dari bibirnya sampai usia menginjak lima tahun.
Di saat itu, aku belum bisa menerima kalau dia yang ganteng belum banyak kosakatanya. Dia hanya banyak jalan dengan kecepatan tinggi. Aku sendiri kewalahan saat mengikutinya.
Aktivitas Nabil yang sangat aktif benar-benar membuatku kelelahan. Apalagi jam tidurnya yang membuatku harus begadang, membuat pola hidup dan pola makanku kacau. Hingga pada akhirnya, saat masa pandemi Covid 19 aku menderita asam lambung. Tubuhku benar-benar lemas, dada dan perut panas. Membuatku berpikir kalau ajal segera menjemput. Pikiran-pikiran itu terus menghantui dan membuat dada sesak dan takut luar biasa. Pada akhirnya aku mengalami gangguan kecemasan dan membuatku rutin berkonsultasi dengan psikiater. Kualitas hidup benar-benar buruk. Tanpa semangat dan selalu dihantui rasa takut dan panik dalam beraktivitas.
Perhatian untuk Nabil menjadi kurang. Aku hanya fokus pada rasa khawatir berlebih dan asam lambung yang tak kunjung normal. Tentu itu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya yang semakin membuat pikiranku tambah kacau.
***
"Putra Ibu ADHD. Tadi saya hitung daya konsentrasi dalam sepuluh hitungan," ucap psikolog anak saat aku mengajak Nabil berkonsultasi.
Aku menyadari, dari hasil konsultasi, Nabil harus mendapatkan sekolah khusus untuk pendidikannya.
"Kalau misalnya homeschooling di sekitar sini ada rekomendasi atau nggak ya, Bu?" tanyaku.
Aku berpikir untuk menyekolahkan secara homeschooling untuk kenyamanan Nabil. Seperti yang sering diam-diam kulihat di sosial media yang orang tuanya juga memiliki anak yang ciri-cirinya seperti Nabil.
"Kalau di tempat kita, homeschooling belum ada, Bu. Tapi, jika mau menyekolahkan, biar nyaman ya harus di sekolah yang benar-benar bisa telaten dengan kondisinya. Kalau di sekolah umum, kasihan putranya."
Aku mengangguk. Paham kalau putra bungsuku tak bisa bersekolah di sekolah umum. Akhirnya aku berpikir untuk melakukan terapi terlebih dahulu sebelum menyekolahkannya karena dia sering lari tanpa tahu bahaya. Kekhawatiran kalau Nabil akan kenapa-kenapa menghantuiku.
Untuk mendapatkan terapi bagi anak ADHD bukan hal mudah di tempat kami. Itu membuat hatiku sedikit sedih. Di satu sisi, aku ingin Nabil segera mendapatkan penanganan meski bisa dianggap terlambat. Di sisi lain, tenaga ahli yang bisa menangani anak sepertinya sangat sulit ditemukan di wilayah tempat tinggal kami. Kalaupun ada, yang bersangkutan sudah tidak bisa membantu karena full menangani banyak anak. Bahkan ada juga orangtua yang indent terlebih dahulu untuk indent terapi anak khusus.
Menginjak usia tujuh tahun, barulah Nabil aku sekolahkan di SLB. Dia sekolah mulai hari Senin hingga Rabu dengan pembelajaran shift karena guru yang menanganinya harus mengajar tiga anak ADHD.Â
Perjuangan untuk menyekolahkan pun sangat menguji kesabaran. Setiap pagi, Nabil harus "pajekan" atau membeli sesuatu di warung yang berada di dekat sekolahnya. Ada saja mainan yang ingin dimiliki. Hanya sesekali saja dia minta jajanan. Itupun membutuhkan waktu lama untuk memilih mainan atau makanan yang ingin dibelinya.
"Lekas, Dik. Pilih yang mana?" tanyaku saat harus mampir warung terlebih dahulu sebelum Nabil ke sekolahnya.
Untunglah penjualnya sabar menghadapi si bungsu. Penjual itu sangat berempati dengan kelakuan Nabil yang jalan sana-sini untuk memilih mainan atau makanan yang diinginkannya.
Pernah beberapa kali warung yang menjadi langganan pajekan Nabil tutup saat pagi. Alhasil dia tantrum dan selama di sekolah, dia uring-uringan.
"Sepertinya Nabil nggak enak badan, Bu. Hari ini agak uring-uringan," kata gurunya, saat aku menjemput si ganteng.
"Oh, mungkin karena tadi dia nggak pajekan sepertinya, Pak."
Nasihat agar Nabil tidak sering membeli mainan ataupun makanan pun keluar dari gurunya, meski dia belum begitu paham maksudnya.Â
***
Setiap pagi tiba---ketika bangun tidur--- Nabil selalu mengatakan,"yuk, ke rumah Cikgu." Saking semangatnya bertemu guru kesayangannya. Dengan bersekolah dan banyaknya contoh anak berkebutuhan khusus yang berhasil di masa dewasanya, aku harap kelak dia bisa mandiri.
Ya, kini aku terus dan selalu berusaha berdamai dengan hati, bahwa aku dititipi penghuni surga, seorang anak istimewa. Tak peduli apa kata orang.
___
Branjang, 23 November- 6 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H