Untuk mendapatkan terapi bagi anak ADHD bukan hal mudah di tempat kami. Itu membuat hatiku sedikit sedih. Di satu sisi, aku ingin Nabil segera mendapatkan penanganan meski bisa dianggap terlambat. Di sisi lain, tenaga ahli yang bisa menangani anak sepertinya sangat sulit ditemukan di wilayah tempat tinggal kami. Kalaupun ada, yang bersangkutan sudah tidak bisa membantu karena full menangani banyak anak. Bahkan ada juga orangtua yang indent terlebih dahulu untuk indent terapi anak khusus.
Menginjak usia tujuh tahun, barulah Nabil aku sekolahkan di SLB. Dia sekolah mulai hari Senin hingga Rabu dengan pembelajaran shift karena guru yang menanganinya harus mengajar tiga anak ADHD.Â
Perjuangan untuk menyekolahkan pun sangat menguji kesabaran. Setiap pagi, Nabil harus "pajekan" atau membeli sesuatu di warung yang berada di dekat sekolahnya. Ada saja mainan yang ingin dimiliki. Hanya sesekali saja dia minta jajanan. Itupun membutuhkan waktu lama untuk memilih mainan atau makanan yang ingin dibelinya.
"Lekas, Dik. Pilih yang mana?" tanyaku saat harus mampir warung terlebih dahulu sebelum Nabil ke sekolahnya.
Untunglah penjualnya sabar menghadapi si bungsu. Penjual itu sangat berempati dengan kelakuan Nabil yang jalan sana-sini untuk memilih mainan atau makanan yang diinginkannya.
Pernah beberapa kali warung yang menjadi langganan pajekan Nabil tutup saat pagi. Alhasil dia tantrum dan selama di sekolah, dia uring-uringan.
"Sepertinya Nabil nggak enak badan, Bu. Hari ini agak uring-uringan," kata gurunya, saat aku menjemput si ganteng.
"Oh, mungkin karena tadi dia nggak pajekan sepertinya, Pak."
Nasihat agar Nabil tidak sering membeli mainan ataupun makanan pun keluar dari gurunya, meski dia belum begitu paham maksudnya.Â
***
Setiap pagi tiba---ketika bangun tidur--- Nabil selalu mengatakan,"yuk, ke rumah Cikgu." Saking semangatnya bertemu guru kesayangannya. Dengan bersekolah dan banyaknya contoh anak berkebutuhan khusus yang berhasil di masa dewasanya, aku harap kelak dia bisa mandiri.