KKN menjadi awal perkenalan dengan sosok lelaki yang kuharap bisa menyempurnakanku sebagai seorang perempuan. Ya, dalam diam aku memerhatikan gerak-geriknya.
"Hei...ngelamunin siapa, hayo!" seru Mbak Yani, teman satu jurusan yang juga satu lokasi KKN denganku.
"Ah, nggak ngelamun kok, Mbak!"
Buru-buru aku keluar dari Posko KKN dan menuju ke motorku terparkir.
"Eh, aku ikutan!"
Mbak Yani mengejarku dan segera membonceng.Â
"Mau ke mana nih?"
"Ke kos Lia!"
Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Meski Mbak Yani mencoba untuk bicara denganku. Jujur saja, aku kurang suka dengan Mbak Yani. Dia sering kepo dan tak jarang mengucapkan hal yang membuatku serba salah.
"Tya, antara Dion sama Bima, yang menurutmu baik itu siapa?" Itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan Mbak Yani ketika semua tim KKN berkumpul dan menyiapkan untuk program sosialisasi tentang cagar budaya di kampung tempat KKN kami. Kebetulan memang di sana ada peninggalan sejarah yang belum terjamah dan malah barang-barangnya sudah banyak yang hilang entah ke mana.
Pertanyaan itu secara otomatis membuat semua pandangan tertuju kepada kami berdua. Dion yang sudah berencana untuk melamar kekasihnya setelah lulus kuliah tercengang. Bima juga. Aku jadi gugup sendiri.