Seisi kelas fokus memandang ke arah Bu Intan. Sementara aku masih tetap berdiri sambil membalas tatapan Bu Intan.
"Duduk, Niko!" perintah beliau.
Aku tak beranjak dari tempatku berdiri.
"Duduk!" perintahnya lagi, dengan suara lebih pelan. Aku tak menuruti perintah itu. Bu Intan pun mendekatiku.Â
Melihat Bu Intan melangkah ke arahku, aku segera ambil langkah seribu, menuju pintu kelas yang sedari tadi tertutup. Kudengar Bu Intan panik memanggil namaku sambil mengejar. Karena sebal sekali, aku menuju pagar sekolah yang berbatasan dengan gang masuk sekolah. Kuputuskan untuk naik pagar dan bolos. Bolos selamanya, karena setelah itu aku tidak melanjutkan sekolah, dengan alasan guru yang kebangetan. Simbah hanya mengelus dada. Sementara Bapak dan simbok? Mereka sudah tiada!
***
Kugelengkan kepala. Berat sekali hidup yang kujalani. Tak seperti teman-teman yang sering menceritakan kisah kesuksesan mereka di status Facebook. Aku hanya menyimak dan memaki dalam hati karena mereka senang pamer. Ya, sebenarnya mungkin tujuannya bukan untuk pamer. Tapi bagiku, mereka sedang pamer kesuksesan padaku.
Mereka benar-benar tak bisa menjaga hati teman yang pas-pasan seperti aku ini. Kerja serabutan, tidak setiap hari bisa memberi uang belanja untuk keluargaku.
Suara adzan Maghrib mulai berkumandang. Aku kembali masuk rumah untuk shalat, makan malam dan beristirahat.Â
***
Saat membaca lowongan pekerjaan di salah satu status Jovan, teman bolos saat SD, kudengar isakan tangis Dian. Di sampingnya ada istriku yang menemaninya belajar.