Punya anak yang tak pernah belajar dengan benar, membuatku pusing. Sementara urusan kerja juga membuat kepala nyut-nyutan. Seharian aku tak mendapatkan pekerjaan. Artinya uang untuk sekadar beli tempe atau tahu juga tak kudapat.
Aku melangkah ke halaman belakang rumah. Mendinginkan pikiran yang penuh dengan pekerjaan dan keluhan anak yang sekian kali diperingatkan gurunya karena tulisannya tak terbaca.
Aku melihat ikan nila yang mulai gemuk. Terlihat menyenangkan. Bisa menjadi sarana hiburan untukku, meski tak banyak.
"Begini kalau dari kecil suka ngeyel. Nggak denger nasihat ibu sama guru. Hidup susah. Mana apa-apa mahal," batinku.Â
Belum lama ini, aku membaca kabar, teman-teman masa SD sampai SMP, ada yang diangkat jadi Kepala Sekolah, petinggi BUMN, dan sederet jabatan mentereng lainnya.Â
Mereka juga sama sebenarnya, tidak terlalu pintar. Bedanya, mereka lebih tekun dan manut kalau dinasihati.Â
"Karena manut sama orang tua dan guru, aku bisa jadi kepala sekolah. Coba kalau nggak, entah jadi apa aku." Begitu isi pada kolom komentar yang ditulis Handoko, teman sebangku saat SMP.
Ah, aku jadi ingat. Waktu SMP, kelas VII, aku yang senang jalan-jalan saat pelajaran, terutama pelajaran IPS, senang sekali ngerjain Bu Intan. Beliau guru yang masih muda.
Melihat Bu Intan yang terlalu banyak cerita di depan kelas, aku sangat jenuh. Apa pula, harus menyimak manusia purba, zaman pra sejarah. Belum lagi, tentang lapisan bumi dan gunung. Kepalaku pusing mendengarnya.Â
"Gunung sama angin kok dipelajari. Apa manfaatnya?" gerutuku, sambil berjalan ke arah Siti, teman di samping mejaku, yang terkenal cengeng. Aku rebut pulpen yang dipegangnya. Alhasil dia menjerit. Bu Intan yang baru menjelaskan tentang terbentuknya gunung berapi sangat terkejut.
"Astaghfirullah, Niko!" teriak Bu Intan sambil menatapku tajam.