Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Burung Hantu yang Membuat Terharu

19 November 2024   16:02 Diperbarui: 19 November 2024   20:22 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wuuuuuzzzz

Angin kencang dirasakan oleh Pipit yang sedang pulang dari Hutan Ceria. Dia terbiasa mencari makan di sana. Dalam perjalanan pulang, dia melihat langit sangat gelap. Daun-daun kering beterbangan tak tentu arah.

"Aku harus segera pulang," batin Pipit.

Baru saja dia akan melanjutkan terbang, tubuhnya terbawa oleh angin yang berputar-putar. Tak hanya dia yang terbawa oleh angin. Benda-benda yang ada di sekitar juga ikut berputar bersama perputaran angin. 

Pipit sangat panik karena tak bisa melawan arus angin yang semakin membuatnya pusing dan mual-mual.

"To...tolooong! Tolongin akuuuu!" teriak Pipit.

Meski berteriak sekuat tenaga, namun pertolongan tak juga datang kepadanya. Dia malah terbang semakin jauh dari jalan pulangnya ke rumah.

Semakin lama, tenaga Pipit semakin berkurang.

"Ya Allah, bagaimana ini?" ratap Pipit.

Dia memejamkan mata. Pasrah, apapun yang akan terjadi padanya. Melawan arus angin jelas bukan cara terbaik untuk selamat.

"Aku pasrah ya, Allah. Huhuuuu," ucap Pipit sambil terpejam.

Di saat itulah, dia merasa gerakan angin semakin pelan. Namun dia sudah terlalu lemah untuk mengepakkan sayapnya.

Werrr...

Tiba-tiba Pipit merasa ada yang menyambar tubuhnya. Dia berpikir kalau pasti berada di alam lain. 

"Pipit, bangun! Sadarlah!"

Pipit mengenali suara tegas itu. 

"Seperti suara Pak Burung Hantu," batin Pipit.

Perlahan Pipit membuka matanya. Apa dipikirkannya tadi benar, ada Pak Burung Hantu, gurunya yang sedikit mencengkeram sayapnya.

"Pak Burung Hantu, terima kasih," ucap Pipit dengan suara lemah.

Pak Burung Hantu tidak berkata apa-apa. Dia segera mencari pohon besar dan teduh untuk membaringkan Pipit. Tak lupa, dia juga menyiapkan makanan untuk Pipit biar lekas sehat dan segar.

Pipit merasa malu kepada Pak Burung Hantu, gurunya itu. Dia sudah diajari tentang cara membaca tanda-tanda alam, mengenali makanan yang aman, dan menghindari kalau ada bahaya. Tetapi dia tak pernah memerhatikan penjelasan gurunya itu. Dia malah sibuk bermain, sering memutus penjelasan hingga Pak Burung Hantu sering mengingatkannya.

"Lain kali, kalau langit mulai hitam, kamu segera pulang. Khawatirnya kalau ada awan hitam seperti tadi. Jangan malah asyik sendiri. Bahaya kalau kamu terkena musibah. Paham, Pipit?" 

Pipit menganggukkan kepalanya saat dinasehati seperti itu. 

"Kalau bukan kamu sendiri yang mengenali tanda alam, mau siapa lagi, Pipit? Kamu nggak selamanya akan diawasi orang tua atau guru. Juga teman-temanmu. Jadi, perhatikan alam," lanjut Pak Burung Hantu.

Pipit yang biasa ngeyel kalau diberitahu atau nasihat, kini hanya bisa mengiyakan, karena dia memang baru saja kena batunya. Akibat tak memerhatikan penjelasan guru, dia hampir mati karena tidak bisa menghindari bahaya pusaran angin.

***

Hari-hari selanjutnya, Pipit sangat memerhatikan kalau belajar di kelas bersama Pak Burung Hantu. Dia sangat bersyukur, Pak Burung Hantu tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada teman-temannya.

"Pak Burung Hantu sangat baik. Dia menasihatiku tapi nggak ngasih tahu kelakuanku yang memalukan dan membahayakan aku sendiri," cerita Pipit ke ibunya.

"Lalu kamu sendiri gimana?"

"Ya malu, Bu. Untunglah Pak Burung Hantu nggak cerita itu. Kalau nggak, aku pasti diolok-olok teman-teman."

"Syukurlah. Alhamdulillah kalau begitu."

"Aku sekarang lebih nurut, Bu. Demi keselamatanku. Biar nggak bikin khawatir Ibu juga," ucap Pipit.

Ibu Pipit tersenyum. Anaknya memang keras kepala, sering membantah nasihat, tak mau membantu sang Ibu yang meminta tolong. Setelah kejadian masuk pusaran angin, Pipit sudah berubah.

***

Beberapa minggu kemudian, Pipit tampak sibuk di teras rumah. Ibu hanya melihat anaknya itu dari pekarangan rumah. 

Tak lama, Pipit tersenyum dan mendekati ibunya.

"Besok pagi hari guru, Bu."

Ibu mendengar cerita Pipit sambil menyirami bunga-bunga yang bermekaran.

"Tadi aku bikin kado buat Pak Burung Hantu."

Ibu menghentikan kegiatannya. Dia memandangi putranya yang semakin hari semakin baik budi pekertinya.

Ibu merasa, seperti belum lama melihat Pipit sering kesal kalau disuruh berangkat ke sekolah, mengatakan gurunya galak, tak membantu di rumah. Kini Pipit lebih memerhatikan orang-orang di sekitarnya.

"Ibu bangga sama kamu, Pipit. Tetaplah menjadi anak baik."

***

Pagi harinya. Di sekolah. Pipit dan teman-temannya sudah duduk rapi di kelas. Tapi tak seperti biasanya, Pak Burung Hantu terlambat sampai sekolah.

Mereka menunggu kehadiran guru kesayangannya dengan sabar. Sampai akhirnya, mereka melihat istri Pak Burung Hantu ke sekolah. Tidak lama, kemudian pulang lagi.

"Kenapa Pak Burung Hantu, ya?"

Pipit dan teman-temannya saling tanya satu sama lain. Suasana kelas pun gaduh. Hingga Pak Elang masuk kelas mereka.

"Anak-anak, beberapa hari ini kalian belajar sama Pak Elang, ya!"

"Kenapa, Pak?" tanya Pipit.

"Bu Burung Hantu tadi menceritakan kalau Pak Burung Hantu sedang sakit. Sekarang di rumah sakit," ucap Pak Elang.

Tentu saja kabar dari Pak Elang itu sangat mengejutkan.

"Kemarin kan Pak Burung Hantu sehat. Kok tiba-tiba di rumah sakit, Pak?" tanya Merpati.

"Sebenarnya beberapa hari ini Pak Burung Hantu mengeluh kalau nggak enak badan, anak-anak. Tapi saat saya minta untuk istirahat, kata Pak Burung Hantu, kasihan kalian kalau ditinggal." 

Pak Elang tersenyum. Pipit dan teman-temannya terharu dengan kasih sayang Pak Burung Hantu kepada mereka, hingga sakit pun tak dirasakannya.

"Mari kita doakan kesehatan Pak Burung Hantu, teman-teman," ajak Pipit. 

___

Branjang, 18-19 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun