"Lain kali, kalau langit mulai hitam, kamu segera pulang. Khawatirnya kalau ada awan hitam seperti tadi. Jangan malah asyik sendiri. Bahaya kalau kamu terkena musibah. Paham, Pipit?"Â
Pipit menganggukkan kepalanya saat dinasehati seperti itu.Â
"Kalau bukan kamu sendiri yang mengenali tanda alam, mau siapa lagi, Pipit? Kamu nggak selamanya akan diawasi orang tua atau guru. Juga teman-temanmu. Jadi, perhatikan alam," lanjut Pak Burung Hantu.
Pipit yang biasa ngeyel kalau diberitahu atau nasihat, kini hanya bisa mengiyakan, karena dia memang baru saja kena batunya. Akibat tak memerhatikan penjelasan guru, dia hampir mati karena tidak bisa menghindari bahaya pusaran angin.
***
Hari-hari selanjutnya, Pipit sangat memerhatikan kalau belajar di kelas bersama Pak Burung Hantu. Dia sangat bersyukur, Pak Burung Hantu tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada teman-temannya.
"Pak Burung Hantu sangat baik. Dia menasihatiku tapi nggak ngasih tahu kelakuanku yang memalukan dan membahayakan aku sendiri," cerita Pipit ke ibunya.
"Lalu kamu sendiri gimana?"
"Ya malu, Bu. Untunglah Pak Burung Hantu nggak cerita itu. Kalau nggak, aku pasti diolok-olok teman-teman."
"Syukurlah. Alhamdulillah kalau begitu."
"Aku sekarang lebih nurut, Bu. Demi keselamatanku. Biar nggak bikin khawatir Ibu juga," ucap Pipit.