Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasaran

12 November 2024   11:15 Diperbarui: 12 November 2024   11:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Setiap hari kok ya pegang HP. Kapan belajarmu, Dinda?" tanya Bunda, jelang Maghrib.

Setiap pulang sekolah, Dinda memang selalu pegang HP. Sampai-sampai dia lupa shalat Asar dan membantu ibu, menyapu halaman rumah. Itulah sebabnya, hampir setiap hari Bunda mengomel. Ayah yang sering mendengar keluhan Bunda, akhirnya mengajak bicara Dinda, setelah shalat Maghrib dan mengaji.

"Mulai besok, pegang HPnya Ayah batasi. Sudah Ayah setel biar kamu nggak lupa waktu. Sehari Ayah batasi dua jam."

Dinda terkejut. "Pegang HP hanya dua jam?" protes Dinda dalam hati.

"Kenapa diam, Dinda? Kamu mau protes?" tanya Ayah.

Dengan ragu Dinda menggelengkan kepala. Kepalanya menunduk. Dia sangat segan kalau dinasihati Ayah. Akan berbeda kalau Bunda yang menasihati, pasti akan dijawab dengan cepat dan lantang.

"Bagus kalau begitu, Dinda. Pulang sekolah itu istirahat. Habis itu nyapu halaman. Jangan bikin Bunda kesal lagi," nasihat Ayah.

***

Hari berikutnya, Dinda pulang lebih awal karena Ibu dan Bapak Guru mendapatkan undangan ke dinas, begitu pengumuman Bu Nita. 

Sesampai di rumah, Dinda melihat HP berada di atas meja kerja Ayah, seperti biasa. Semula dia mau mengambil HP itu, namun dia ingat kalau Ayah membatasi pemakaian HP. HP sudah disetel. Dia bisa membuka HPnya kalau sudah pukul dua siang.

"Kamu makan dulu, Dinda!" ucap Bunda, mengejutkan Dinda.

"Iya, Bunda. Aku ganti baju dulu, terus makan bekal tadi saja," ucap Dinda.

Dia segera masuk kamar dan berganti pakaian. Kotak makan yang masih ada di tas sekolahnya, diambil dan dibawa ke ruang makan. Kebetulan sekarang pukul dua belas lebih dua belas menit, waktunya makan siang. 

Bunda pun mendekati Dinda yang sedang makan. Namun Bunda tidak ikut makan siang. Hari ini Senin, Bunda puasa sunah. 

"Tadi kamu belajar apa di sekolah, Dinda?"

"Permainan tradisional, Bunda," jawab Dinda singkat.

"Wah, bagus dong, Dinda. Lebih baik kamu banyak bermain permainan tradisional. Lebih seru. Omong-omong tadi sudah dipraktekkan apa belum?"

"Belum, Bunda. Permainan gobak sodor, aku nggak paham. Kata Bu Nita bisa diulang besok lagi."

Bunda tersenyum saat mendengar cerita Dinda.

"Iya, besok kamu bisa mempelajari gobak sodor di sekolah karena mainnya harus banyak teman."

Dinda mengangguk dan menceritakan anggota kelompoknya saat bermain gobak sodor. Juga pemain lawannya.

"Kamu mau Bunda ajari permainan tradisional lain yang lebih mudah nggak, Dinda?"

"Apa itu, Bunda?"

Dinda ingat, pada buku pelajarannya, permainan tradisional itu ada engklek, lompat tali, main egrang dan sebagainya. Kalau baca cara mainnya, itu semua sulit.

"Coba kamu kirim pesan ke Fadia, Nara, Naila sama Husna. Ajak mereka ke rumah nanti habis Asar. Bunda ajari permainan yang seru deh!"

"Iya, Bunda. Tapi permainan apa sih?"

Bunda tersenyum manis.

"Nanti kamu akan tahu. Sekarang kita shalat jamaah, terus kamu tidur. Nanti sore kamu dan teman-teman kamu main bareng."

***

Sore hari, setelah mandi dan shalat Asar, teman-teman Dinda datang ke rumah. Mereka datang dengan membawa HP masing-masing. Oleh Bunda, HP itu diminta untuk diletakkan di meja ruang tamu.

"Sekarang kita ke kebun belakang rumah, yuk!" ajak Bunda, sambil mengunci pintu rumah.

Dinda dan teman-temannya mengikuti Bunda yang berjalan lebih dulu. Sesampai di kebun belakang rumah, terlihatlah aneka sayuran dan bunga yang ditanam bersebelahan.

"Di sana ada bayam, daun ketela, sama daun pepaya. Kalian petik yang tua saja ya. Jangan yang muda."

Bunda memerintah Dinda dan teman-temannya untuk memetik daun-daun yang sudah tua. Daun yang muda biasanya untuk dimasak.

"Jangan lupa, metiknya dari tangkainya, ya!"

"Iya, Bunda."

"Iya, Tante," ucap teman-teman Dinda.

Bunda meninggalkan Dinda dan teman-temannya.

"Untuk apa daun-daun ini, Dinda?" tanya Husna.

Dinda menggelengkan kepalanya.

"Apa kita diajak masak sama Bundamu?" tanya Naila.

"Dinda, ambil baskom sama talenan ini!"

Dinda berlari mendekati Bunda.

"Bunda mau ajak masak ya?"

"Nggak, Dinda. Bunda sudah masak tadi siang."

"Lalu?"

"Sudah. Ayo kita ke sana. Bunda ajari main yang seru," ajak Bunda, menunjuk tempat bermain di bawah pohon jambu yang biasanya untuk istirahat Bunda, setelah membersihkan kebun.

***

Dinda dan teman-temannya tampak memotong daun-daun yang sudah dipetik tadi. Daun itu dipotong halus dan diletakkan pada wadah plastik yang disediakan Bunda. 

"Daun bayam, ketela sama daun pepaya diwadahi sendiri-sendiri, ya!" kata Bunda.

Dinda dan teman-temannya mengangguk.

"Kalau sudah, tangkainya juga dirajang. Tangkai daun ketelanya kita anggap sebagai cabenya. Tangkai daun pepaya, kita anggap sebagai sayur kecipir."

Setelah semua daun dan tangkai dirajang dan dimasukkan dalam wadah yang berbeda, Bunda mengambilkan daun pisang, lalu dipincuk.

"Kita sekarang akan main pasaran, Dinda, Naila, Husna, Fadia, Nara."

"Pasaran?"

"Iya. Ini permainan yang biasa Bunda mainkan bareng teman-teman. Kita pura-pura bikin pecel dari rajangan daun tadi."

"Lalu, sambelnya gimana? Pecel 'kan ada sambelnya, Bunda."

"Oh iya. Hampir lupa."

Bunda tertawa kecil dan menepuk dahinya.

"Ini ada mangkuk kecil. Kita masukkan sedikit tanah, lalu ditaburi potongan tangkai daun ketelanya."

Bunda mengambil sedikit tanah dan dimasukkan ke dalam mangkuk kecil. Mangkuk itu disodorkan ke Dinda.

"Masukkan potongan tangkai daun ketelanya, Dinda."

Dinda pun melakukan apa yang dikatakan Bunda.

"Terakhir, dituangi air sedikit dan diaduk rata."

***

Bunda tersenyum melihat Dinda dan teman-temannya yang asyik bermain pasaran. Membuat pecel-pecelan. Mengambil beragam rajangan daun dan tangkai daun pepaya ke dalam daun pisang yang dipincuk, lalu menuanginya dengan sambal.

"Lain kali, kalian bisa pasaran dengan uang-uangan dari bungkus permen lho!" ucap Bunda.

Dinda dan teman-temannya saling berpandangan.

___

Branjang, 11 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun