Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Teladan dari Bu Raya

7 November 2024   22:09 Diperbarui: 8 November 2024   08:26 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ingat baik-baik ya, Anak-anak. Kalian harus berbuat baik kepada teman-teman. Nggak usah pilih-pilih kalau berteman. Nggak usah ada geng-gengan!"

Pesan Bu Raya kembali kuingat. Entah sudah berapa hari aku tak melihat guruku itu. Biasanya beliau menyapa kami pagi-pagi, sebelum guru lain hadir di sekolah.

"Ini karena Dio pasti!" ucap Nadya. 

Nadya mengingatkan aku pada peristiwa beberapa hari lalu, saat orang tua Dio ke sekolah dan marah-marah karena Dio dihukum.

"Iya, kasihan Bu Raya," sambut Nita, menanggapi ucapan Nadya.

"Kan kita sudah punya kesepakatan kelas. Kalau ada yang melanggar peraturan kelas ya dihukum."

Tak berapa lama Dio, yang mereka bicarakan, tiba di kelas. Setiba di kelas, dia tak membantu piket. Padahal hari ini dia mendapat jatah piket.

"Kamu bantuin piket dong, Dio!" seru Lista yang sedang menyapu kelas.

"M-a-l-a-s!" jawab Dio keras dengan mengeja kata 'malas'.

Aku yang melihat kelakuan Dio segera menghampirinya. Bagaimanapun aku adalah ketua kelas. Harus menjaga kerukunan kelas. Menasehati kalau ada yang tidak tertib.

"Ngapain kamu! Berani sama aku?" tanya Dio kepadaku, dengan mata melotot.

"Bukan berani atau nggak, Dio. Kamu harus piket. Itu sudah jadi aturan kelas."

"Halah! Aku di rumah nggak pernah bersih-bersih. Ngapain di sekolah repot begini sih? Menyebalkan!" 

Dio langsung pergi ke luar kelas. Biasanya dia duduk di taman sambil makan bekal. Dia terbiasa makan sebelum bel masuk berbunyi. Namun, sampai bel masuk terdengar dan Bu Anis masuk kelas, Dio tak juga masuk kelas. Selama beberapa hari, Bu Anis memang menggantikan Bu Raya di kelas kami.

"Di mana Dio?" tanya Bu Anis. Beliau melihat tas Dio yang terbuka di atas kursi.

"Paling-paling sarapan di taman, Bu!" jawab Noval yang biasa duduk di belakang Dio.

"Sarapan?"

"Iya, Bu. Dia sering makan di sana."

"Baiklah. Bu Guru akan ke taman setelah Bu Guru jelaskan sedikit materi. Terus nanti kalian berdiskusi dengan kelompok masing-masing, ya!"

Bu Anis pun menjelaskan tentang sumber energi. Lalu beliau memberi tugas untuk berdiskusi tentang sumber energi, contoh serta manfaatnya.

Baru saja Bu Anis mau keluar kelas, tiba-tiba Pak Nasib, satpam sekolah, mengetuk pintu. Bu Anis pun segera membuka pintu kelas. Tampaklah Pak Nasib yang panik.

"Ada apa, Pak?" tanya Bu Anis dengan tenang.

"Dio, Bu... Dio..."

Pak Nasib tak melanjutkan ucapannya. Tentu saja Bu Anis dan kami sekelas bingung. 

"Mari, Bu Anis. Ke taman," ajak Pak Nasib kemudian.

Tanpa diberi aba-aba, kami sekelas mengikuti Bu Anis dan Pak Nasib. Kami sangat penasaran, apa yang terjadi dengan Dio, teman kami yang super sulit dinasihati dan menyebalkan.

Setiba di taman, kami melihat Dio lemas. Dia ditemani Bu Intan. 

"Dia muntah-muntah, Bu Anis," ucap Bu Intan.

"Sepertinya dia keracunan makanan," lanjut Bu Intan.

Dugaan Bu Intan tentu membuat kami terkejut. Aku pun melihat bungkus makanan berada di samping kotak makan Dio. Bungkus makanan itu sering kulihat di televisi atau sosial media, makanan yang memang menyebabkan keracunan siapapun yang memakannya.

***

Dua hari setelah Dio keracunan dan pulang dari rumah sakit, Bu Raya yang sudah masuk kerja dan mengajar, mengajak kami untuk menjenguk Dio.

"Nanti jam istirahat pertama kita ke rumah Dio ya, anak-anak!" ajak Bu Raya.

"Untuk apa ke sana, Bu. Dio kan nyebelin. Ibu dan ayahnya juga," jawab Ranti, temanku yang paling tidak suka dengan kelakuan Dio.

Bu Raya tersenyum. Beliau mendekati Ranti dan mengusap kepalanya.

"Ranti, kalau ada teman yang sedang sakit atau susah, kita harus meringankan bebannya. Caranya ya dengan jenguk," ucap Bu Raya.

"Dio itu jahat, Bu. Sampai Bu Raya nggak masuk 'kan gara-gara Dio dan orang tuanya," ucap Ranti, dengan wajah cemberut.

"Siapa bilang kalau Bu Guru nggak masuk karena mereka?"

Ranti menggelengkan kepala. Bu Raya menatap kami secara bergantian.

"Bu Guru nggak mengajar kalian beberapa hari karena ada saudara yang menikah. Jadi, Bu Guru bantu-bantu di sana," jelas Bu Raya.

***

"Ibu, Bu Raya itu baik banget," ceritaku, saat berada dalam perjalanan pulang.

"Oh ya? Kenapa kok kamu bilang kalau Bu Raya baik. Bukannya dari dulu sudah baik?"

Aku tersenyum.

"Iya sih, Bu. Bu Raya dari dulu baik. Dan, yang membuat aku kagum, beliau tetap baik sama orang tua Dio. Tadi beliau mengajak kami untuk jenguk Dio. Padahal kan mereka sudah marah-marah sama Bu Raya," ucapku, menceritakan apa yang dilakukan guruku itu.

"Nah, itu artinya Bu Raya memberikan contoh ke kamu dan teman-teman kamu. Tetap berbuat baik kepada siapapun. Akan ada balasan baik bagi orang yang berbuat baik," ujar Ibu.

___

Branjang, 7 November 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun