Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Kiko dan Perpustakaan Kuno yang Ajaib

25 Oktober 2024   13:33 Diperbarui: 25 Oktober 2024   13:39 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Koleksi pribadi yang diolah melalui Microsoft Designer 

Kreek...brakk!

Pintu tinggi dan usang yang dibuka Kiko, si anak kelinci yang lucu, tiba-tiba tertutup. Tentu saja dia sangat terkejut. Berulang kali dia mencoba untuk membuka pintu yang penuh debu dan mulai dimakan rayap. Sayangnya, usaha Kiko tak berhasil.

Kondisi pintu yang sangat tua, pegangan pintu yang hampir patah, membuat pintu sulit dibuka lagi. Padahal saat mau masuk, pintu mudah sekali dibuka.

Sesaat kemudian Kiko terdiam dan melihat sekeliling ruang pengap. Di sekelilingnya terdapat banyak jendela kaca berukuran besar, kotor dan berdebu. Keadaan ruang itu gelap dan banyak laba-laba yang bersarang di sana.

Kembali Kiko melihat ke arah pintu yang menjulang di depan matanya. 

"Aku harus segera pulang. Pasti ibu mencariku," gumam Kiko.

Ya, tadi dia disuruh ibunya untuk membeli sayuran untuk dimasak. Rencananya lusa Ayah Kiko akan pulang. Ayahnya bekerja jauh, di hutan seberang. Karena itu, Ibu mau memasak menu spesial untuk Ayah Kiko.

Kiko menatap tas belanjaan yang tadi diletakkan di samping pintu kokoh di depannya.

"Bagaimana caranya biar aku bisa keluar dari sini?" tanyanya dengan suara lirih.

"Hai, kelinci kecil. Aku bisa bantu kamu!"

Tiba-tiba Kiko mendengar suara keras. Dia melihat sekelilingnya. Mencari tahu, siapa yang bicara dan mau membantunya keluar dari ruangan yang mirip perpustakaan karena dia melihat banyak buku di ruangan itu. Buku itu tertata rapi pada rak kayu.

"Siapa yang bicara?" tanya Kiko dengan suara jelas.

"Aku! Lihat ke samping kanan atasmu!"

Kiko menuruti aba-aba dari suara itu. Dia terkejut, ternyata yang bicara adalah buku berukuran besar. Warnanya hijau sedikit kecoklatan. 

"Aku Buku Pak Kancil dan Ketimun," ucap buku itu.

Kiko mengenalkan namanya, lalu mendekat ke arah buku dan memastikan kalau itu memang buku yang berbicara dengannya.

"Wah, benar. Kamu buku!" ucap Kiko.

"Hahaha. Iya. Aku bisa bantu kamu keluar dari sini. Tapi ada syaratnya."

"Syarat?"

Buku Pak Kancil dan Ketimun itu tersenyum ke arah Kiko. 

"Aku juga bisa bantu!"

Sebuah buku mendekat ke arah mereka berdua. Kiko menyipitkan mata. 

"Buku Sejarah Terbentuknya Bumi?" 

Kiko membaca dengan nada bertanya. Buku itu mengangguk.

"Aku Kiko!" ucap Kiko memperkenalkan dirinya kepada Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

"Ehem!" 

Suara keras dan penuh wibawa terdengar.

"Aku Buku Peta Dunia. Akan bantu kamu juga, Kiko," ucapnya. Pasti dia mendengar nama Kiko saat memperkenalkan diri kepada Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

Dibanding dua buku sebelumnya, Buku Peta Dunia terlihat paling tua. Dia mengenakan kacamata. 

"Benarkah kalian bertiga bisa bantu aku keluar dari sini?"

Mereka bertiga mengangguk.

"Syaratnya kamu harus mau baca kami bertiga."

"Hah? Baca kalian?"

Kiko menatap tak percaya. Dia merasa kalau syaratnya sulit. Membaca tiga buku tebal demi keluar dari perpustakaan kuno dan sedikit mistis.

"Kalau kamu mau sih!" ucap Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

Buru-buru Kiko menyetujui syarat dari tiga teman barunya itu.

***

Kiko tampak membuka-buka lembaran Buku Kancil dan Ketimun. Ternyata buku tua itu berisi tulisan dan gambar yang lucu. Kiko jadi tahu, kalau zaman kuno itu ternyata sudah ada buku bergambar. Tidak hanya saat ini.

Isi ceritanya tidak jauh dari kisah Kancil yang mencuri ketimun Pak Tani, seperti yang dia didongengi Ibu atau Ayahnya jelang tidur.

"Oh, jadi ini buku yang dibaca Ibu sama Ayah dulu," ucap Kiko pelan.

"Iya, Kiko. Dulu orang tuamu dan teman-temannya sering ke sini. Membaca aku dan teman-temanku. Ramai deh," cerita Buku Kancil dan Ketimun.

"Pantas saja ceritanya sama yang kudengar kalau Ibu atau Ayah mendongeng," ucap Kiko, sedikit tertawa.

Dia beralih ke Buku Sejarah Terbentuknya Bumi. Lagi-lagi, buku itu bergambar dan ada keterangannya. Kalau zaman sekarang, mirip dengan Ensiklopedia Bumi. 

Kiko menikmati buku itu yang menceritakan munculnya planet-planet, termasuk bumi. Bagaimana bumi bisa ada gunung, lembah, ngarai, laut dangkal, laut dalam.

"Aku bagus 'kan, Kiko?" tanya Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

"Iya. Pengetahuanku jadi bertambah karena kamu!" jawab Kiko.

Kiko meletakkan Buku Sejarah Terbentuknya Bumi kembali ke raknya. Kiko pun beristirahat sebentar. Dia berjalan ke arah jendela. Dari dalam dia melihat ke luar. Hutan semakin gelap. Dia merasa bersalah kepada Ibu karena tidak segera pulang, tapi malah penasaran dengan pintu di balik akar gantung pohon tua, yang membuatnya tak bisa keluar dari ruangan yang cukup menyeramkan.

"Aku akan pulang secepatnya, Bu," ucap Kiko lirih.

Dia lalu kembali ke arah Buku Peta Dunia. Diamatinya buku yang ukurannya lebih besar dari dua buku yang sudah dibacanya tadi.

Karena namanya Buku Peta Dunia, sudah pasti isinya peta dunia. Meski Kiko sudah belajar peta dunia saat belajar di sekolah, mau tak mau dia tetap harus membuka dan memelajari buku di depannya itu.

Kiko membuka Buku Peta Dunia pelan. Dia melihat kalau peta pada buku itu tidak sama dengan yang dipelajari di sekolah. Daratannya benar-benar beda dengan yang sekarang.

"Kok bisa beda ya?"

Buku Peta Dunia tertawa kecil.

"Ya memang petanya beda. Ini yang ada di dalam diriku itu termasuk peta awal. Daratan Asia dan Australia seperti menyatu kan?"

Kiko mengangguk.

"Penyebabnya sudah kamu baca di Buku Sejarah Terbentuknya Bumi tadi, Kiko," ucap Buku Peta Dunia.

Kiko pun ingat kalau bumi tidak rata. Ada banyak penyebabnya. Intinya karena proses alam, yaitu pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan pecahnya superbenua Pangea.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kiko membaca Buku Peta Dunia itu. 

"Sekarang kamu bisa pulang, Kiko. Tapi ada pertanyaan yang harus kamu jawab!" ucap Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

"Jawab pertanyaan?"

Ketiga buku itu mengangguk.

"Ya sudah. Nanti saja. Aku lelah. Mau istirahat dulu."

Kiko pun merebahkan tubuh. Dia memikirkan Ibu yang pasti khawatir karena dia belum pulang.

***

"Kiko! Di mana kamu?"

Samar-samar Kiko mendengar suara Ibu. Dia pun membuka matanya yang masih mengantuk.

"Teman-teman, aku mau keluar. Bantuin, ya!" ucap Kiko kepada ketiga temannya itu.

"Oke! Ada satu pertanyaan yang ada di pintu itu. Kalau kamu bisa jawab, kamu bisa keluar dari sini!" ucap Buku Kancil dan Ketimun.

Kiko menatap Buku Kancil dan Ketimun itu. Lalu berjalan ke arah pintu. Dia berkonsentrasi mencari pertanyaan yang dimaksud Buku Kancil dan Ketimun.

"Di mana pertanyaannya? Kok nggak ada?" tanya Kiko.

Buku Sejarah Terbentuknya Bumi mendekatinya.

"Kamu bersihkan dulu pintunya!" ucap Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

Kiko segera membersihkan pintu yang penuh debu itu. Terlihatlah sebuah pertanyaan.

"Sebutkan superbenua yang terpisah karena pergerakan lempeng tektonik!"

Buru-buru Kiko menjawab dengan suara lantang,"Superbenua Pangea!"

"Bukan begitu jawabnya, Kiko! Kamu tulis jawaban di pintu itu!" ucap Buku Sejarah Terbentuknya Bumi.

Kiko menulis jawabannya dengan batu kapur berukuran kecil. Batu kapur itu ditemukannya di sebelah tas belanjaan. Begitu jawaban selesai ditulis, pintu ruangan terbuka.

***

Kiko melihat Ibu yang mondar-mandir di dekat taman hutan yang mulai ramai. Memang, hari sudah pagi. Matahari bersinar cerah.

"Ibu!" seru Kiko.

Ibu membalikkan tubuh dan terlihat bingung mencari Kiko. Kiko pun berlari dan memeluk Ibu.

"Kamu ke mana saja, Kiko?"

Kiko tersenyum. Lalu bercerita kalau membaca buku di perpustakaan tua di balik akar gantung pada pohon tua. Ibu pun terkejut.

"Ya, Allah. Untung kamu selamat, Kiko!" seru Ibu dengan wajah khawatir. Ibu kembali memeluk Kiko.

"Iya, Bu. Nggak usah khawatir!" ucap Kiko.

"Bukan begitu, Kiko! Perpustakaan itu jadi tempat terlarang buat kita. Kalau masuk ke sana, nggak bisa keluar karena tempat itu dikutuk oleh nenek jahat yang nggak suka dengan pemilik perpustakaan."

___

Branjang, 24-25 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun