"Ya Allah, gerah sekali!" keluh Kutut, si burung Perkutut.
Kutut yang biasa terbang ke sana kemari sambil bersiul dengan suara merdunya, kini terlihat lemas. Dia merasakan hawa yang sangat panas dan membuatnya kegerahan.
Memang hutan tempat tinggalnya sedang musim kemarau. Hutan yang biasanya berdaun lebat dan segar, kini menjadi layu. Bahkan ada yang mengering dan berjatuhan di tanah.
Sungai dan sumur-sumur warga hutan mulai kering. Jangankan untuk mandi, untuk minum saja sangat kurang. Tanah yang biasanya tumbuh rumput dan lembab, kini mulai mengeras dan merenggang.Â
Musik kemarau kali ini benar-benar membuat penduduk hutan banyak mengeluh. Tak hanya Kutut, Maumau si harimau yang terkenal dengan aumannya yang menakutkan dan gagah, kini berjalan lemah. Tubuhnya terlihat kurus. Matanya sayu.
Kelinci yang biasa menggali tanah untuk mencari wortel juga kesusahan.Â
"Aduh, gigiku sakit. Tanahnya keras banget!" ucap Kelinci sambil memegang mulutnya. Sementara perutnya sangat lapar.
"Ada apa, Nci?" tanya Rusa. Kelinci terkejut karena tadinya hanya ada dia di kebun wortel. Tiba-tiba ada Rusa di dekatnya.
"Gigiku sakit, Rusa! Mau ambil wortel tapi tanahnya keras banget," cerita Kelinci.
Rusa mengangguk. Kepalanya menengok ke kanan kiri.
"Hutan kita memang sudah lama nggak hujan. Kemarau panjang sekali."
Kelinci menyimak Rusa dan duduk di sampingnya.
"Mungkin lebih baik kita berdoa bersama ya, Nci."
Kelinci menatap Rusa dengan penasaran. Ya, dia penasaran dengan maksud Rusa.
"Kita semua yang tinggal di hutan ini berkumpul di tanah lapang dan berdoa bersama."
"Kan kita nggak sama cara doanya," ucap Kelinci.
"Ya kita doa sesuai agama masing-masing dong, Nci! Cuma tempat mungkin dipilih yang agak dekat dengan lapangan."
Kelinci mengangguk. Dia paham maksud temannya itu.
"Kalau gitu, mau kapan?" tanya Kelinci.
"Besok pagi saja," usul Rusa.
Selanjutnya mereka membagi tugas untuk mengumumkan ke warga hutan lainnya dan menyiapkan beberapa tempat untuk berdoa bersama.
Monyet yang mendengar rencana doa bersama itu hanya mencemooh dan menertawakan.
"Hahahha...untuk apa berdoa? Nanti juga pasti akan turun hujan kalau sudah waktunya musim hujan," ucap Monyet.
"Iya sih, Nyet. Tapi kan sejak dua bulan lalu harusnya sudah musim hujan. Nyatanya sekarang semakin panas," ucap Kura-kura.
***
Pagi harinya, sekitar pukul sembilan, warga hutan berkumpul sesuai tempat yang sudah ditentukan untuk tiap agama. Mereka khusyuk beribadah dan berdoa, mengharapkan musim hujan segera tiba. Biar hutan mereka tak kekeringan lagi.
"Jangan lupa, meski kita sudah beribadah dan berdoa bersama, di rumah tetap terus berdoa," ajak pemuka agama yang berkhutbah.
"Kita harus banyak berusaha dan berdoa. Semoga Tuhan mengabulkan doa kita."
Para warga mengamini doa itu. Ajakan pemuka agama dilaksanakan dengan rutin.
"Hahahah...sudah kubilang, nggak perlu doa bersama kan? Nih, sudah empat hari sejak kalian berdoa tapi nggak hujan juga. Rugi kalian!" cemooh Monyet.
Kelinci, Harimau dan warga hutan yang mendengar cemoohan itu hanya diam. Kalau menanggapinya, pasti Monyet akan lebih semangat mengejek.
Malamnya, udara sejuk menerpa hutan tempat tinggal Kutut dan teman-temannya. Bintang tak terlihat. Tertutup oleh awan gelap yang terlihat sejak sore.
Sejak melihat gumpalan awan hitam, warga hutan terus berdoa agar benar-benar turun hujan. Mereka sadar kalau Tuhan memang penentu segalanya. Tugas mereka adalah berdoa. Pasti Tuhan akan mengabulkan doa hamba-Nya.
Setelah hembusan angin yang sejuk terasa, rintik hujan mulai turun. Suara rintik hujan terdengar dari atap rumah. Daun-daun pada pohon mulai basah. Warga hutan sangat bahagia. Rintik hujan semakin deras. Andai saja hujan turun saat siang atau sore, pasti anak-anak akan bermain hujan-hujanan di tanah lapang. Karena hujan turun saat malam, mereka hanya melihat hujan dari dalam rumah.
"Ya Allah, jadikan hujan ini bermanfaat," doa mereka.
***
Pagi harinya, sinar matahari menerangi hutan. Terlihat tumbuhan segar. Tanah basah. Sungai dan sumur mulai terisi air.
"Alaaah, tadi malam hujan itu karena memang sudah masuk musim hujan. Bukan karena doa kalian," ucap Monyet yang sedang bergelantungan di pohon.
Lagi-lagi warga hutan hanya diam. Monyet ternyata tak juga sadar kalau ejekannya benar-benar membuat warga tak suka padanya.
"Lebih baik kita bersyukur. Nggak usah dengerin si Monyet, ya!" ucap Rusa, seolah mengingatkan agar warga sabar menghadapi Monyet itu.
"Kita sambil doakan Monyet, biar dia berubah," sambung Rusa.
____
Branjang, 19 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI