Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diam-Diam

16 Oktober 2024   16:08 Diperbarui: 16 Oktober 2024   16:51 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuperhatikan sosok perempuan yang usianya jauh di bawahku. Selisih sepuluh tahunan. Dia begitu supel, ceplas-ceplos. Senyum tak lepas dari wajahnya yang chubby dengan lesung pipi yang menambah kecantikannya.

Aku mengenalnya beberapa hari, lewat program literasi. Dia peserta, aku yang menjadi narasumbernya. Saat mengajukan pertanyaan, cara bicaranya sudah mencuri hatiku. Masih ditambah lagi saat para peserta diwajibkan untuk mempresentasikan tugas yang kuberikan atas permintaan panitia. Tulisannya sangat kritis.

Sesaat aku melupakan rasa sedihku karena membesarkan buah hati sendirian. Bukan karena cerai hidup, melainkan cerai mati. Tepatnya istriku tak selamat saat melahirkan putriku.

Meski sudah sepuluh tahun ditinggal istriku, sama sekali aku tak berniat untuk menikah lagi. Rasa cintaku begitu besar untuk ibu anakku. Dia adalah sosok sempurna yang mau mempertaruhkan hidupnya untuk melahirkan putri kami.

Kurasa tak ada seorangpun yang bisa menggantikan kedudukannya di hatiku. Dia, bidadariku. Yang mau menemaniku dalam suka duka. Tanpa mengeluarkan keluhan yang menambah beban hidupku.

"Kamu itu nikah lagi saja, Wa. Biar bisa menjadi tempat berbagi cerita. Bertukar pikiran."

Aku tersenyum saat Ibu mengatakan hal itu. Beliau begitu risau dengan nasibku yang sering menyendiri, setelah putriku tidur lelap.

"Sebelum Rasyid nikah, kamu nikah duluan. Harapan Ibu begitu, Wa."

Aku tak menanggapi ucapan Ibu. Bagaimana bisa menanggapi, jelas-jelas aku belum menemukan wanita yang bisa mengubah angkuhnya hatiku karena hanya menempatkan ibu anakku sebagai permaisuri hatiku.

"Kamu sudah punya calon kan, Wa?"

"Ibu itu kok ngebet banget, pingin saya nikah. Kalau Rasyid mau nikah ya langsung dilaksanakan. Nggak usah nunggu saya, Bu."

"Ealah. Kamu ini dikasih nasehat malah gitu ucapanmu," ucap Ibu dengan sebal.

"Jangan sampai niat baik Rasyid sama Raya batal atau tertunda gara-gara saya. Ya, Bu!" bujukku.

Ibu membuang muka.

"Menikah itu lebih baik yang tua dulu, Wa."

Aku tertawa kecil. Sepertinya Ibu lupa kalau aku sudah menikah. Punya anak lagi.

"Iya, Bu. Saya sudah menikah. Artinya sekarang giliran Rasyid. Biar dia menyempurnakan ibadahnya. Jangan dihalangi, Bu."

"Tapi, Wa..."

"Rasyid sama Raya sudah sama-sama siap nikah. Mau disuruh nunggu juga?" tanyaku.

Ibu beranjak dari hadapanku dengan wajah bersungut.

"Gimana, Mas? Ibu masih berpendirian seperti kemarin?" Rasyid mendekatiku dan menanyakan perihal ucapan Ibu saat aku selesai mengobrol dengan beliau.

Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan membuang perlahan. 

"Ibu sulit, Syid."

Kudengar Rasyid membuang napas dengan kasar.

***

Kembali aku mencuri pandang ke arah perempuan berlesung pipi itu. Dia tampak resah, berjalan ke sana kemari, seakan ada yang ditunggunya. Hingga akhirnya air langit turun, setelah hawa dingin terasa. Dengan tergesa dia berjalan ke arah gazebo, tempatku sedari tadi memerhatikannya. Sesaat kemudian dia menyadari kalau ada aku di bawah gazebo yang sama.

"Lho, Pak Dewa. Masih di sini?" tanyanya.

"Iya. Masih merekap tugas para peserta pelatihan hari ini."

Perempuan itu mengangguk. Kepalanya didongakkan, matanya menatap ke arah atap gazebo yang tak henti meneteskan air hujan.

"Anda sendiri?" tanyaku, membuang rasa penasaran dengan sosok perempuan di depanku itu.

"Nunggu jemputan pacar, ya?"

Tak ada jawaban darinya. Hanya ada tawa kecil sejenak. Aku pun berkemas untuk pulang. Tak mungkin aku menunggu hujan reda, anakku sudah pasti menunggu kepulanganku.

"Mau saya antar pulang?" tanyaku, basa-basi kepadanya.

Dengan cepat perempuan ayu itu menggelengkan kepala, bersamaan sebuah mobil berhenti di seberang jalan. Seorang lelaki berdasi, usia lima puluhan, turun dari mobil itu.

"Oh, dijemput ayahmu ya? Kukira..."

"Bukan, Pak Dewa."

Aku menatap perempuan yang membuka payung lipat warna pink fanta. Kurasa tak mungkin dia dijemput om-om berduit. Namun aku agak terkejut, di belakang lelaki itu muncul juga seorang gadis, usianya kurang lebih sepantaran dengan perempuan cerdas yang kukenal supel itu. 

"Mamah!" sapa gadis di samping lelaki paruh baya itu.

"Ya! Sebentar!"

Perempuan yang kukagumi diam-diam itu berlari kecil di tengah rintik hujan. Dia dipeluk gadis yang menyapanya Mamah, lalu menyalami tangan lelaki itu layaknya ke suami. Yang mengejutkan, lelaki itu mencium kedua pipi, kening dan bibirnya.

Sesaat aku terpaku dan menertawakan diriku sendiri.

____

Branjang, 16 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun