Rayyan tersenyum.Â
"Nggak aneh-aneh kalau dolan sama anak orang. Awas kalau sampai malu-maluin Bunda!" ancamku.
"Jadi boleh, Bunda?"
Aku mengangguk, seraya menyerahkan kunci etalase koleksi buku di ruang tengah. Tak lama, remaja itu membawa sebuah buku dan membaca di sampingku. Akupun ikut mengambil buku untuk kubaca. Lalu menuju ke ruang baca.
Tugasku hanya memberi contoh dan mendampingi saat dia membaca, selebihnya Hanan, ayahnya yang bertugas menanyakan isi bukunya.
"Bunda juga harus baca kalau aku baca," protes Rayyan, waktu masih kecil.
Tentu aku menuruti kemauannya, biar anak itu mau membaca sesuai petuah sang ayah. Kalau tak kulakukan, sudah pasti aku diceramahi Hanan.Â
"Ibu itu menjadi madrasah pertama bagi anak. Jadi contoh yang baiklah, Tia!" tegurnya saat aku menolak untuk memberi contoh kepada Rayyan.
"Apa ini?" tanya Hanan yang tiba-tiba di belakangku.
Aku tersenyum manis ke arahnya, dengan hati deg-degan. Dia meraih buku yang kupegang. Ada dua buku yang kupegang secara bertumpuk.
Satu buku yang kalau dilihat dari depan judul dan isinya tentang agama, tetapi di dalamnya kuselipkan buku favoritku untuk kubaca.