Aku mengangguk. Miris dan prihatin, anak muda zaman sekarang sudah merasakan mentalnya kurang sehat. Entah tekanan apa yang menyebabkannya. Tapi aku setuju dengan Bu Anna, lebih baik anaknya segera ditangani tenaga profesional agar hidupnya bisa nyaman, layaknya teman seusianya.
Percakapan dengan Bu Anna sempat terhenti. Beliau dipanggil oleh petugas bagian pembayaran obat. Tak berapa lama beliau kembali ke kursinya tadi. Sementara si anak tak juga kulihat.
"Putra Ibu di mana?" tanyaku.
"Oh, dia nunggu di mobil, Pak."
Aku mengangguk lagi. Kudengar sekilas Bu Anna bermonolog sambil melihat slip tagihan yang sudah dibayar. Beliau menggerutu tentang obat yang tidak bisa ditebus dengan asuransi kesehatan miliknya. Ketika aku menatapnya sekilas, beliau menyadarinya. Ada senyum malu terpancar dari wajahnya.
"Nggak apa-apa, Bu. Lebih baik kehilangan uang sekarang, daripada masa depan putranya hilang."
Ibu tadi menghembuskan napas perlahan. Ada kesedihan yang kutangkap dari raut wajahnya.
"Anak lelaki satu-satunya, sulung, digadang-gadang biar bisa bantu Ibunya kalau sudah dewasa, malah begini," keluhnya.
Kukira wajar kalau perempuan itu sedih luar biasa. Namun bukankah kalau si anak ditolong lebih cepat, pemulihannya juga bisa cepat? Asal ada dukungan dari keluarga.
"Yang optimis, Bu. Ibu dan keluarga dukung terus putranya."
Perempuan itu mengangguk.Â