Di antara anak-anak ibu dan bapak, kukira hanya aku yang bernasib buruk. Apa saja yang kujalani berjalan tak sesuai harapanku. Bendera putih seakan mau kukibarkan saja. Berhenti berharap atas cita-cita yang kandas.
"Kamu jangan putus asa. Semangat dong, Nirmala."
Lelaki yang berada di sampingku, Dion, kembali menyemangati. Tak cuma sekali dua kali. Mungkin kalau dihitung sudah ratusan kali dia melakukannya.
Dia adalah sahabat sejak masa SMP hingga SMA. Orang yang ramah dan perhatian di saat teman lain mengabaikanku.Â
Di waktu-waktu berikutnya, banyak yang mengira kalau di antara kami memiliki hubungan khusus.
"Hidup itu terkadang harus merasakan drop. Aku masih manusia. Bukan malaikat."
"Iya. Tapi bukan berarti kamu merasa kalau kamu itu satu-satunya yang merasakan kegagalan dan putus asa."
Kalau dia sudah berkata-kata seperti itu, sudah pasti diikuti dalil-dalil agama. Ya, dia memang Ketua Rohis di sekolah. Entah apa yang dikatakannya. Terkadang aku tak memahaminya. Untuk memahami hidupku saja rasanya sudah pusing.
"Sudahlah, Dion. Kamu nggak usah khutbah di sini!" seruku.
Aku berdiri dan melangkah untuk menjauhinya. Biar saja kalau dia mau ceramah atau khutbah dengan orang lain. Bukan aku.