Aku tak jadi sarapan pagi ini. Bagaimana tidak, di hadapanku tersaji menu makanan yang menjijikkan bagiku. Menu itu selama dua puluh tahun tak pernah ada di rumah. Keluarga tak pernah menikmati menu itu karena bagi kami menu itu tidak lazim.
Tiba-tiba saja menu itu ada di atas meja. Gorengan berwarna kecoklatan dari bakal kupu-kupu atau kepompong. Enthung istilah Jawanya. Pantas saja saat dandan, tercium aroma tak biasa dari arah dapur.Â
Menu itu baru kali ini berada di hadapanku. Meski kudengar dari teman-teman yang hobi makan enthung kalau rasanya enak, tapi tak pernah terbayangkan kalau suatu saat bisa ada di depan mataku.
Saat melihatnya, perutku langsung mual-mual. Isi perut akhirnya keluar juga.
"Kamu makan yang lain saja, Dik," ucap lelaki di belakangku yang membantu memijiti bahuku. Lelaki itu suamiku, Mas Abian.
"Aku nggak bisa, Mas."
"Kamu jangan bikin aku merasa bersalah gini dong, Dik."
Aku tak menggubris ucapannya. Langsung saja aku mengambil tas kerjaku dan berangkat. Kurasa aku bisa makan di kantor saat istirahat nanti.
"Aku berangkat dulu, Mas."
***
Ternyata setelah sampai kantor dan jam istirahat tiba, hidungku seolah mencium aroma enthung goreng. Perutku kembali mual-mual. Padahal aku sudah memesan nasi rames kesukaanku.
"Kenapa kamu, Leta? Kamu ngidam ya?" tanya Andin.
Aku menggeleng. Andin terlihat khawatir melihatku.
"Tapi kau tak seperti biasa, Leta. Kamu terlihat pucat," ujarnya.
"Aku nggak ngidam, Ndin."
Lalu meluncurlah cerita tentang kejadian tadi pagi saat aku mau sarapan.
"Ya Allah. Kamu yang sabar ya, Leta."
"Aku nggak tahu kalau Mas Abian sering mengonsumsi enthung."
"Iya. Aku paham. Lha kamu sama walang goreng saja juga nggak mau. Apalagi enthung."
"Aku harus gimana sekarang. Perutku kosong. Tapi bau dan wujud enthung goreng terlihat terus."
Aku menahan rasa lapar yang luar biasa untuk pertama kalinya. Perutku berbunyi keras.
"Aduh... Leta. Kamu paksa makan ya! maag-mu itu sering kambuh."
"Aku bingung mau makan apa, Ndin!"
***
Sore hari, Mas Abian sudah pulang. Dia melihatku tiduran di sofa.
"Dik, nanti kita makan di luar ya!" ucapnya sambil mengecup keningku.
"Makan apa, Mas. Aku nggak enak makan."
"Tapi kamu kelihatan lemes gitu. Terus tadi Andin telpon kalau kamu cuma ngisi perut dengan kuah bakso."
Mas Abian menggenggam tanganku. Dia terkejut saat mendapati tanganku dingin.
"Astaghfirullah. Tanganmu dingin, Dik."
Dengan setengah memaksa, Mas Abian menyuapiku bubur gurih.Â
"Buat ngganjal perutmu. Terus nanti kita makan di luar," putusnya.
Mataku terpejam. Mencoba menghalau bau enthung goreng yang masih saja tercium jelas di hidungku.Â
"Maafkan, Mas ya, Dik. Mas nggak tahu kalau akhirnya jadi begini."
"Lain kali makanan aneh jangan dibawa ke rumah, Mas. Apapun itu," ucapku.
"Iya. Aku janji. Aku nggak mau kalau kamu sakit gini."
"Satu lagi, wajan dan alat-alat yang Mas pakai untuk masak enthung tadi, tolong dibuang saja."
Mas Abian terkejut mendengarnya. Wajan dan alat-alat dapur masih baru. Baru minggu kemarin dibelikannya. Tapi aku memintanya untuk membuang. Alamat dia harus membelikan lagi wajan lagi.
"Ya udah. Nanti kubawa ke rumah ibu saja."
___
Melikan, 18 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H