Aku tak jadi sarapan pagi ini. Bagaimana tidak, di hadapanku tersaji menu makanan yang menjijikkan bagiku. Menu itu selama dua puluh tahun tak pernah ada di rumah. Keluarga tak pernah menikmati menu itu karena bagi kami menu itu tidak lazim.
Tiba-tiba saja menu itu ada di atas meja. Gorengan berwarna kecoklatan dari bakal kupu-kupu atau kepompong. Enthung istilah Jawanya. Pantas saja saat dandan, tercium aroma tak biasa dari arah dapur.Â
Menu itu baru kali ini berada di hadapanku. Meski kudengar dari teman-teman yang hobi makan enthung kalau rasanya enak, tapi tak pernah terbayangkan kalau suatu saat bisa ada di depan mataku.
Saat melihatnya, perutku langsung mual-mual. Isi perut akhirnya keluar juga.
"Kamu makan yang lain saja, Dik," ucap lelaki di belakangku yang membantu memijiti bahuku. Lelaki itu suamiku, Mas Abian.
"Aku nggak bisa, Mas."
"Kamu jangan bikin aku merasa bersalah gini dong, Dik."
Aku tak menggubris ucapannya. Langsung saja aku mengambil tas kerjaku dan berangkat. Kurasa aku bisa makan di kantor saat istirahat nanti.
"Aku berangkat dulu, Mas."
***