Kukira kita tak saling bertegur sapa hampir dua puluh tahun. Cukup lama. Aku ingin melupakanmu, nihil. Bayangmu selalu saja terbayang di mataku. Senyummu, manjamu, atau malah mungkin rasa sebal dan wajah jutek saat aku menggodamu, semua itu masih lekat di ingatanku.
Hingga kini aku berumur empat puluh tahun, tak jua kutemukan sosok perempuan yang bisa menyentuh hatiku lagi. Entah karena terus mengingatmu, dan berharap bertemu denganmu, atau aku yang terlalu pilih-pilih. Atau aku terlalu mengejar karir, dan merasakan nyaman dengan keadaanku sekarang.Â
"Kamu kujodohkan sama Fitri, anaknya Pak Narto saja, Edwin!"Â
"Saya belum siap, Pak."
"Mau sampai kapan siapnya, Win?"Â
Suara bapak menggelegar. Beliau pasti kesal. Aku sering menolak perjodohan dengan putri-putri temannya. Dari beliau sudah beberapa nama perempuan yang akan dikenalkan dan dijodohkan denganku. Ratri, Nisa, Hera, Elora. Entah siapa lagi, aku lupa.
Nama-nama itu akhirnya mendapatkan jodohnya masing-masing. Kalau menerima undangan dari mereka, pasti bapak mengungkit, harusnya aku menikah dengannya.Â
Aku sih tertawa saja. Menikah kan yang akan menjalani aku. Kenapa bapak malah repot, pikirku waktu itu.Â
Kini, bapak kembali memaksakan untuk melamar seorang putri temannya, Fitri. Tak ada penundaan waktu.Â
"Pokoke saiki kowe kudu manut Bapak (Pokoknya sekarang kamu harus manut sama Bapak). Titik!"