Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setengah Hari Bersama di Hari Spesialmu

3 November 2023   15:46 Diperbarui: 3 November 2023   15:47 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu lebih tak menyentuh akun Facebook, akhirnya aku bisa login kembali. Ada rasa lega saat bisa membuka kembali akun itu. Ya, meski sebenarnya aku jarang sekali update status atau menyambangi teman-teman lewat sosmed itu.

Kini, aku mengecek notifikasi yang masuk. Di sana ada pemberitahuan kalau tiga teman merayakan ulang tahun. Termasuk kau. 

Kau memang istimewa meski tak merasa istimewa. Namun aku tak berusaha mengistimewakanmu. Aku tahu diri, siapa aku dan posisiku dibanding denganmu, atau teman-teman lain.

Jadi, ketika teman-teman beramai-ramai menuliskan rangkaian ucapan selamat ulang tahun, aku lebih senang me-like atau membaca saja. Kukira itu sudah cukup. Dan seperti biasa, aku cuma scroll status atau berita dan beberapa novel yang berseliweran di beranda Facebook. 

Itu tak berlangsung lama. Akun Facebook segera kututup. Kulanjutkan lagi aktivitasku. Sebuah aktivitas yang tidak menunjukkan prestis tinggi. Lihatlah teman-teman menceritakan karir mereka yang cemerlang. Aku jauh di bawah mereka.

***

Aku bersama anak-anak kampung di sebuah gubuk tua, di pinggir dusun. Tak jauh dari sungai yang membelah desa tempatku tinggal menjadi dua bagian, utara dan selatan.

Di sisi kanan kiri gubuk terlihat kotor dan kumuh. Bagaimana tidak, di sekitar gubuk banyak tumpukan sampah. Tentunya bukan sampah organik, tetapi sampah plastik, koran bekas, karton dan sampah lainnya.

Banyak orang yang memandang sebelah mata dengan kegiatanku bersama anak-anak di gubuk tua itu. Sama sekali tak kupedulikan. Selama mamak dan bapak mendukungku.

"Mamak senang, kamu mengajak anak-anak kampung ini belajar kreatif, Ndhuk. Mereka akan belajar mencintai lingkungan," ucap Mamakku ketika mendengar olok-olok dari tetangga yang menilaiku sebagai sarjana yang gagal. Tak bekerja sesuai dengan ilmu yang telah kudapatkan selama ini.

Aku mengangguk, meski hatiku berkata kalau aku memang telah mengecewakan mamak dan bapak. Tetapi, kegiatan bersama anak-anak ini sudah menjadi panggilan. 

Rasanya aku tak tega kalau anak-anak hanya senang dengan gadget. Aku ingin mereka tak tergantung pada gadget, sekaligus melatih mereka untuk lebih mencintai alam.

Mereka kuajak untuk mengumpulkan sampah organik maupun anorganik dan memisahkannya. Sampah organik yang sudah dipisahkan tadi, kupasrahkan pengelolaannya pada temanku. Aku kurang menguasai cara pengolahan sampah organik. 

"Mbak Ririk, kita jadi bikin bunga 'kan?" tanya si cantik Sinta.

Kuacungkan ibu jariku sebagai jawabnya.

"Tapi kita tunggu teman-temanmu dulu ya!"

"Oke, Mbak Ririk!"

Sinta membantuku menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Biasanya bunga dibuat dari kantong plastik warna-warni atau kertas. Kini bahan yang disiapkan adalah botol bekas,kawat dan tutup botol. Dengan alat berupa gunting, cutter, lem tembak dan lilin.

Begitu bahan dan alat siap, aku dan Sinta duduk di galar bambu. Dari jarak jauh, terlihat teman-teman Sinta yang mulai berdatangan. 

Sebenarnya mereka bukanlah dari keluarga miskin. Malah kebanyakan dari keluarga orang berada.

Aku bersyukur, meski tetangga memandang sebelah mata akan kegiatanku, ternyata orang tua anak-anak itu sangat senang dengan kegiatan yang diikuti anak-anak mereka.

***

Aku dan beberapa anak menggunting botol plastik warna hijau. Guntingan membentuk daun. Sedangkan anak lainnya menggunting botol plastik bening dan warna lain. Guntingan dibentuk menyerupai mahkota bunga.

"Hati-hati mengguntingnya ya, adik-adik!" 

"Iya, Mbak Ririk."

Anak-anak terlihat bersemangat mengerjakan tugasnya masing-masing.

"Jangan lupa, guntingan daun dan mahkota dipisahkan!" 

"Ya, mbak!" jawab mereka serempak.

Aku tersenyum. 

"Ini nanti merangkainya gimana, mbak?"

"Pake lem castol ya, Mbak Ririk?"

"Lem G yang kuat nempelnya dong!" 

Mereka bekerja sambil mengobrol. 

"Nanti Mbak Ririk ajari bikinnya ya!" ucapku.

***

Semua potongan mahkota bunga dan daun bagian luar dipanaskan pada nyala lilin. Tujuannya biar hasil rangkaian bunga dan daunnya terkesan alami.

Anak-anak memanaskan potongan-potongan tadi dengan hati-hati, sesuai petunjuk dariku. Sesekali aku mengingatkan anak yang bercanda saat memanaskan guntingan botol plastik tadi.

Ketika akan melanjutkan proses membuat bunga dari botol bekas, dari jauh seorang anak laki-laki, Nabil, berlari-lari sambil melambaikan tangannya. Sementara di belakangnya terlihat sosok yang tak asing bagiku. Kau!

Aku tak tahu, kenapa kau mendatangi kami. Padahal kutahu kalau kau diajak teman-teman untuk merayakan ulang tahunmu. 

Tak sampai dua menit, kau dan Nabil sudah sampai gubuk. Kau beri salam kepada kami dan meminta izin untuk bergabung bersama kami. Hanya anggukan kepala yang mengaminkan keinginanmu. Anak-anak pun menyambut baik kedatanganmu.

Mengingat waktu yang sudah cukup sore, aku melanjutkan kegiatan bersama anak-anak.

Anak-anak mulai kuajak memasang kawat pada tutup botol. Kuberikan contoh untuk melubangi botol dan memasukkan kawat lalu menyimpulkan ujung kawat tadi. Kau yang sedari tadi hanya melihat kegiatan kami, akhirnya membantu anak-anak dalam melakukan proses itu.

Setelah selesai memasang kawat pada tutup botol, dilanjutkan merangkai mahkota bunga menjadi bunga yang cantik. Dengan bantuan lem tembak. Tetapi lem tembak terpaksa tidak menggunakan alat listrik karena di gubuk tua tak ada jaringan listrik. Jadi, lemnya dibakar dan lelehannya langsung ditempelkan ke mahkota, satu persatu.

"Sebenarnya akan lebih cantik kalau mahkota bunganya dicat akrilik, adik-adik. Tapi Mbak Ririk lupa, belum beli."

"Berarti kapan-kapan kita cat ya, Mbak Ririk!" usul anak-anak.

Kuiyakan usul mereka. Mereka melanjutkan proses penempelan mahkota-mahkota bunga sampai selesai. Aku memerhatikan tingkah laku mereka dan sesekali membantu. Sementara kau mendekatiku.

"Aku tadi telepon kamu, tapi nggak kamu angkat. Jadi aku ke rumahmu. Nggak ketemu kamu juga. Akhirnya aku diantar Nabil ke sini," ceritamu, mengajakku berbincang.

"Aku nggak bawa HP, Mas," jawabku singkat.

"Oh, kirain kenapa," komentarmu.

"Mas ke sini ada apa, ya? Bukankah ada acara dengan teman-teman," selidikku.

"Iya sih harusnya. Tapi aku memilih sama satu teman saja dulu," selorohmu. 

"Satu teman kok bisa mengalahkan banyak teman. Bisa kualat lho, Mas," ledekku.

"Ah, masa? Kayaknya nggak deh! Lha wong satu teman itu sangat spesial."

Aku mau melanjutkan perbincangan denganmu, Fariz tiba-tiba mendekati kita.

"Kalau sudah selesai bikin bunganya terus digimanakan, Mbak?" tanyanya.

Kuminta Fariz dan teman-temannya untuk istirahat dulu. Mereka menolaknya. Ya, terpaksa aku mengajak mereka untuk menyelesaikan rangkaian bunga.

"Tadi kan tutup botol sudah dipasangi kawat dan ditempeli mahkota-mahkota bunga. Nah, sekarang tinggal memasang daun pada tangkainya," jelasku.

Kuambil setangkai bunga yang sudah dibuat anak-anak. Lalu kuajari anak-anak untuk menempelkan helai daun pada tangkai bunga.

Tak berapa lama, bunga selesai dibuat. Anak-anak merasa puas melihat hasil pekerjaan mereka. 

"Kalian senang nggak pas bikin bunga dari botol plastik tadi?" tanyaku.

"Seneng, Mbak. Tapi tanganku agak pegel pas menggunting tadi," ucap Fadli sambil tersenyum.

"Iya, Mbak Ririk. Tanganku juga agak sakit," sambung Sinta.

"Memang menggunting botol plastik itu sulit. Tapi kalian 'kan belajar banyak dari kegiatan kita."

Mereka saling menatap.

"Belajar apa, mbak?"

"Belajar sabar untuk mendapatkan hasil yang bagus. Juga belajar bekerja sama satu sama lain," terangku.

***

Rasanya lelah sekali setelah bermain dan belajar bersama anak-anak. Mereka sudah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan aku dan kau masih di gubuk. Membereskan alat-alat dan bunga yang sudah terangkai di dalam vas bunga.

"Kamu nggak capek bermain sama anak-anak itu, Rik?" tanyamu, memecah keheningan.

Aku tersenyum. Tak ada yang perlu kukatakan padamu.

"Mmmm, Rik... terima kasih ya," ucapmu.

"Terima kasih? Untuk apa?" tanyaku. Aku kurang paham akan maksudmu.

"Kamu mengajariku banyak hal di hari spesialku ini."

Kau menceritakan kalau baru pertama kali berhadapan dengan anak dan kegiatan mengolah barang bekas. Aku maklum, papa-mamamu adalah orang kaya. Apa saja yang kau dapatkan adalah barang bermerk dan mahal.

"Ini adalah kado teristimewa yang kudapatkan tahun ini. Kudapatkan kado itu darimu, perempuan yang juga istimewa bagiku. Seperti kota Yogyakarta," lanjutmu sambil tersenyum.

___

Branjang, 1-3 November 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun