Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kukira (Bukan) Surga Cintaku

24 September 2022   21:18 Diperbarui: 24 September 2022   21:29 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenalmu tanpa direncana, dan tanpa terpikirkan olehku. Ulahmu yang ceroboh dalam mencuri dan menyimpan nomor kontakku, dari handphone Udin, mendorongmu hubungi aku. 

Udin adalah teman yang baik. Meski dari kampus yang berbeda, aku bisa menerimanya sebagai sahabat. Tentu persahabatan itu sering diwarnai pertengkaran kecil. Namun, tetap saja kalau bertemu selalu seru dalam berbincang.

Kalau tak mengenal kami dengan baik, pasti orang menganggap kami adalah sepasang kekasih. Kami pernah bertengkar, aku berjalan di gang kampusnya, lalu Udin mengejarku dengan motornya. Seperti adegan dalam film-film roman zaman baheula kan?

Tapi tunggu dulu! Sebenarnya beberapa bulan kemudian, aku pernah guyon dengan Udin saat dia mau wisuda.

"Kamu sudah ada pendamping buat wisuda?" Tanyaku iseng.

"Belum tuh!" Jawabnya singkat.

"Lha gimana? Kamu mau jadi pendampingku?" Tanyanya dengan semangat.

Aku tergelak. Bagaimanapun, aku jelas datang kalau dia wisuda. Wong saudaraku juga wisuda bareng dia. Ya, meski bukan berperan sebagai pendampingnya. Bisa jadi kan dia sudah bawa pendamping beneran. Hahaha.

**

Wajahmu terlihat masam saat aku cerita tentang Udin. Tetanggamu yang juga sahabatku. 

Kukira tidak perlu aku jelaskan tentang banyak hal tentang persahabatanku dengan Udin. Akan jadi sebuah novel kalau kutuliskan dan akan jadi sandiwara kalau diputar di stasiun radio. Atau malah jadi cerita sinetron di televisi. Hahaha.

"Udin terus yang kamu ceritakan," ucapmu sambil menggerutu. 

"Lha terus aku mau cerita apa coba, Ndro?" Tanyaku sambil menggaruk jilbabku.

"Kan kamu bisa cerita tentang kegiatanmu atau tanya-tanya tentang aktivitasku sehari-hari," terangmu dengan muka sebal. Sampai di sini aku tak paham maksudmu.

Yang jelas, aku baru sekali itu bertemu langsung denganmu. Selama beberapa bulan aku mengenalmu lewat dunia maya. Entah kenapa aku menanggapi tawaran persahabatan denganmu. 

Dan ketika untuk pertama kali kita kopi darat, tak mungkin aku terlalu banyak bertanya tentangmu. Aku perempuan timur, menjaga harga diri harus kulakukan.

Lama kita terdiam. Aku hanya menatap handphoneku. Kubuka aplikasi WhatsApp. Status-status dari teman kubuka satu persatu demi menghilangkan rasa tak enak. Berduaan denganmu sesungguhnya menjadi impian bagiku. Tetapi itu hanya kupendam. Tak kuucapkan pada siapapun.

Aku tak mau terluka jika ternyata kamu hanya menginginkan persahabatan murni denganku. Alangkah sakit dan malunya jika aku bicara kepada teman kalau aku jatuh cinta padamu, padahal belum pernah sekalipun bertemu satu sama lain.

"Oke. Kalau kamu tak mau tanya tentang aku, aku yang cerita saja. Kamu kupaksa mendengar ceritaku yang panjang." Ujarmu tegas. Suara beratmu serasa menghujam di hatiku. Berwibawa sekali.

Meluncurlah ceritamu sebagai seorang prajurit yang melakukan banyak latihan sampai melakukan aktivitas di pedesaan. Membantu warga yang mengalami musibah atau membangun parit.

Lalu, tiba-tiba terucap nama yang tak asing bagiku. Nama seorang perempuan. Nama itu kudengar pertama kali dari Udin. Tiara. Perempuan yang dekat denganmu di kampung halamanmu. 

"Tiara itu teman yang lumayan dekat dengan Indro, Nara!" Cerita Udin menghenyakkanku. Itu cerita Udin dulu, saat aku memberondongkan ocehan alias protes karena nomor kontakku bisa sampai di tanganmu.

Jadi, kupikir kamu dulu keliru dalam mengirimkan chat. Nama panggilanku dan Tiara itu sama. Ra. Hufttt. Tapi sebenarnya kenapa kamu mengajakku bertemu? Tujuanmu apa sebenarnya?

**

Kini nama itu kudengar langsung darimu. 

"Kok kamu ke sini nggak bareng dia, Ndro?" Selidikku dengan suara pelan.

Kamu tertawa. Lalu kamu gelengkan kepalamu.

"Emang kenapa, Ra?"

"Boleh dong aku kenal sama perempuanmu," kembali aku menguasai hati. Suaraku kembali ceria. Kukira berteman denganmu itu adalah sebuah keputusan yang lebih baik dan tepat untuk kita.

"Tentu bolehlah, Ra! Makanya aku temui kamu!" 

Aku heran dengan ucapanmu baru saja. Apa hubungannya aku dan Tiaramu? Apa aku akan diajak untuk menemui perempuanmu untuk membantumu ungkapkan keinginanmu untuk menikahinya? 

"Begini..."

Kembali kamu cerita panjang lebar. Tentang Ra-mu itu. 

Intinya kalian memang dekat. Namun kedekatan kalian tak mendapatkan restu dari orangtua Tiara.

"Ya kamu usahalah, Ndro! Prajurit nggak boleh nglokro!" 

"Nggak segampang itu, tahu!"

Kamu mengacak jilbabku. Aku terkejut. Begitupun kamu. Kutepis tanganmu. Kudengar helaan napasmu.

"Dia mau nikah, Ra. Aku tinggal nunggu undangan saja."

"Ooo..." Aku manggut-manggut. Tak tahu harus mengomentari bagaimana.

"Nah, aku minta solusi dong, Ra!"

"Solusi apaan?"

"Kamu mau kan menemaniku ke pernikahan Tiara?"

Aku membelalakkan mata. Tak percaya kalau kamu mengajakku demi menghadiri pernikahan Tiara nanti.

Aku berpikir keras untuk menolak ajakanmu. Dalam pandanganku, seorang lelaki mengajak perempuan ke pernikahan itu biasanya menganggap perempuan itu istimewa. Tapi kurasa kamu tak menganggapku demikian. Aku serasa jadi pelarian saja saat kamu mengajakku ke pesta pernikahan Tiara. Menyebalkan sekali, tahu!

"Gimana, Ra?"

***

Musik mendayu mengiringi perjalananku di antara hujan yang turun dalam beberapa hari pada musim pancaroba. Menuju tempat kerja dengan jas hujan yang sudah basah. 

Musik Ada Band yang menjadi lagu populer pada masanya dulu. Puitis, romantis. Membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan terbawa suasana. Lagu Surga Cinta yang ingatkanku padamu. 

Hari ini, tepat hari H pernikahan Tiara dan lelaki pilihannya, kamu menghubungiku lagi. Ya, setelah pertemuan kita, tiga bulanan, kamu tak menghubungiku. Akupun merasa tak perlu menghubungimu juga. Apalah aku ini bagimu. Aku lebih memilih menenggelamkan diri dengan aktivitas rutin di kantor.

"Gimana kabarmu, Ra? Aku akhirnya nggak datang ke pernikahan Tiara. Soalnya kamu nggak ngasih kepastian sih," chatmu.

Bingung juga untuk menuliskan rangkaian kata sebagai balasan chat-mu.

"Maafkan aku, Ndro. Maaf banget ya!" Hanya itu yang akhirnya kutuliskan pada chatku. 

"Iya. Nggak apa-apa. Aku paham perasaanmu. Pasti kamu merasa jadi pelarianku. Tapi biarlah waktu yang membuktikan kalau kamu adalah surga cintaku, Ra."

Handphone kumasukkan ke saku pakaian kerja. 

Branjang, 23 September 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun