Kukira tidak perlu aku jelaskan tentang banyak hal tentang persahabatanku dengan Udin. Akan jadi sebuah novel kalau kutuliskan dan akan jadi sandiwara kalau diputar di stasiun radio. Atau malah jadi cerita sinetron di televisi. Hahaha.
"Udin terus yang kamu ceritakan," ucapmu sambil menggerutu.Â
"Lha terus aku mau cerita apa coba, Ndro?" Tanyaku sambil menggaruk jilbabku.
"Kan kamu bisa cerita tentang kegiatanmu atau tanya-tanya tentang aktivitasku sehari-hari," terangmu dengan muka sebal. Sampai di sini aku tak paham maksudmu.
Yang jelas, aku baru sekali itu bertemu langsung denganmu. Selama beberapa bulan aku mengenalmu lewat dunia maya. Entah kenapa aku menanggapi tawaran persahabatan denganmu.Â
Dan ketika untuk pertama kali kita kopi darat, tak mungkin aku terlalu banyak bertanya tentangmu. Aku perempuan timur, menjaga harga diri harus kulakukan.
Lama kita terdiam. Aku hanya menatap handphoneku. Kubuka aplikasi WhatsApp. Status-status dari teman kubuka satu persatu demi menghilangkan rasa tak enak. Berduaan denganmu sesungguhnya menjadi impian bagiku. Tetapi itu hanya kupendam. Tak kuucapkan pada siapapun.
Aku tak mau terluka jika ternyata kamu hanya menginginkan persahabatan murni denganku. Alangkah sakit dan malunya jika aku bicara kepada teman kalau aku jatuh cinta padamu, padahal belum pernah sekalipun bertemu satu sama lain.
"Oke. Kalau kamu tak mau tanya tentang aku, aku yang cerita saja. Kamu kupaksa mendengar ceritaku yang panjang." Ujarmu tegas. Suara beratmu serasa menghujam di hatiku. Berwibawa sekali.
Meluncurlah ceritamu sebagai seorang prajurit yang melakukan banyak latihan sampai melakukan aktivitas di pedesaan. Membantu warga yang mengalami musibah atau membangun parit.
Lalu, tiba-tiba terucap nama yang tak asing bagiku. Nama seorang perempuan. Nama itu kudengar pertama kali dari Udin. Tiara. Perempuan yang dekat denganmu di kampung halamanmu.Â