Rasanya dua tahun sudah aktivitas lomba keagamaan, Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ), tidak ada gaungnya karena masa pandemi covid 19. Lomba keagamaan ini merupakan lomba setahun sekali sebelum pandemi merebak.
Kini, lomba keagamaan ini mulai digaungkan kembali. Setidaknya dua mingguan yang lalu, sudah beredar Surat Edaran lomba MTQ untuk tingkat kabupaten. Juknis lomba pun sudah bisa dibaca.Â
Guru Agama Islam dan Budi Pekerti bersama Kepala Sekolah dan guru lain mulai merancang dan mempersiapkan nama-nama siswa yang akan mengikuti beragam lomba yang ada. Ada MTQ dan saritilawah, MTtQ, MHQ, lomba pidato, Cerdas Cermat Agama (CCA) dan adzan.Â
Ada kesulitan dalam menentukan siapa peserta lomba. Maklum, mereka nyaris lupa atau malah belum pernah tahu adanya lomba keagamaan ini. Karenanya ada siswa yang tidak percaya diri ketika ditunjuk atau disiapkan untuk lomba ke tingkat gugus.Â
Lomba tingkat gugus adalah lomba keagamaan di persatuan beberapa sekolah (biasanya terdiri lima sekolah). Nah, juara pada tingkat gugus nantinya akan maju ke tingkat kecamatan atau kapanewon. Juara di tingkat kecamatan atau kapanewon nantinya maju ke tingkat kabupaten dan seterusnya.
Reaksi Siswa saat Diseleksi Menjadi Duta Sekolah
"Bu, aku ikut yang CCA sama Ais."
"CCA itu apa sih, Bu?"
"Aku nggak mau lomba Adzan, Bu. Nggak mau ngapalin lafaznya."
"Aduh, Bu. Aku tu cadel. Jadi nggak usah lomba pidato ya!"
"Yess! Aku nggak jadi lomba pidato, Bu!"
Itu beberapa ucapan siswa yang merasa belum mampu untuk lomba. Sebenarnya tahun-tahun sebelumnya saya juga menghadapi siswa yang malu untuk lomba. Padahal siswa itu akademiknya lebih dibandingkan dengan teman-temannya.
Saya jadi ingat saat masa-masa Sekolah Dasar. Sejak SD, saya sering didaftarkan lomba MTQ oleh sekolah. Saya lupa, pertama kali lomba MTQ saat kelas berapa. Yang jelas, memang ada rasa tidak percaya diri. Apalagi melihat peserta lomba yang sangat banyak. Nyali rasanya ciut juga.
Pengalaman serupa saat duduk di bangku SMP dan SMA. Saya tak tahu kenapa harus saya yang mewakili sekolah. Padahal tak jarang saat maju lomba, saya sekadar jadi penggembira.
Nah, kini setelah saya menjadi guru, meski pernah merasakan kecil hati saat lomba, namun saya bersama guru Agama Islam dan Budi Pekerti harus bisa memompakan semangat. Setidaknya siswa bisa memiliki rasa percaya diri.
Ya, sedari kecil mereka harus dilatih lomba. Di mana dalam lomba, para siswa harus siap dengan segala konsekuensinya. Menang atau kalah.Â
Dari sini, siswa bisa belajar legowo atau berbesar hati jika kalah dan tidak sombong jika juara.Â
Cara Memupuk Percaya Diri Siswa yang menjadi Duta Sekolah
Tentu saja butuh kerjasama antara satu guru dengan guru yang lainnya. Di saat guru membesarkan hati siswa, tak ada salahnya Kepala Sekolah dan guru lain turut mendukung.
Nasehat bahwa mereka akan memiliki pengalaman berharga dan bisa menjadi jalan untuk masuk sekolah favorit melalui jalur prestasi diberikan kepada siswa. Mereka sudah tahu bahwa untuk masuk sekolah favorit setidaknya berprestasi jika jalur zonasi tidak bisa dicapai.
Nasehat itu ternyata lumayan ampuh. Kelemahan fisik seperti cadel harus dikikis. Guru harus bisa menjelaskan kalau cadel itu bukan menjadi penghalang untuk berprestasi.
"Aku saja juga cadel lho," ujar teman guru saat siswa khawatir akan jalannya lomba karena cadel.
Cara lain, ada baiknya guru mendampingi siswa saat lomba. Tentunya mendampingi ke lokasi lomba berlangsung. Ini sangat penting bagi siswa.
Kita tahu bahwa siswa terkadang sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Karenanya guru akan menjadi pahlawan yang membantu siswa untuk beradaptasi di lokasi lomba.
Guru pendamping ini memang sangat besar manfaatnya bagi siswa yang lomba. Setidaknya selain membantu beradaptasi, juga bisa membantu mencarikan ruangan lomba.Â
Jadi, siswa tidak terbebani untuk mencari ruangan lomba. Apalagi untuk siswa tingkat SD. Kalau tidak dicarikan ruangannya, pasti siswa akan down atau stress duluan.Â
Akan beda lagi jika didampingi dan dicarikan ruangan lomba, rasa grogi akan sirna perlahan.
"Besok ibu mengantar muridnya apa nggak?" Tanya putri saya yang juga akan berlomba di satu gugus sekolah.Â
Saya tahu, anak saya akan merasa bahagia kalau ada saya ---ibunya--- di lokasi lomba, meski saya sebenarnya mendampingi siswa dari sekolah saya. Bukan dari sekolah putri saya.
***
Dari uraian tadi, kita tahu bahwa siswa perlu kekuatan dari luar agar lebih percaya diri untuk berlomba. Tentu dari doa orang tua dan dukungan guru saat pembinaan sampai lomba berlangsung dan pengumuman kejuaraan.
Semoga saja lomba keagamaan MTQ atau lomba-lomba lainnya bisa terlaksana dengan tenang setelah pandemi berlalu. Agar karakter percaya diri siswa bisa terasah.Â
Branjang, 20 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H