Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ingin Lepas Bebas

1 April 2022   11:20 Diperbarui: 1 April 2022   11:36 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: mongabay.co.id

Jika saja ibu masih ada, pasti aku bisa memohon doa restu untuk penyelesaian masalahku. Meski sebenarnya tanpa kuminta pun ibu selalu mendoakanku di penghujung malam. Selepas ibu mengarungi malamnya.

Sungguh, aku dulu berharap bahwa aku mendapatkan pendamping yang pengertian. Namun ternyata, suamiku yang menuntut banyak kepadaku.

Perpisahan dengan suamiku tengah kuperjuangkan. Bukan karena tak sayang lagi. Karena pernikahan bukan hanya butuh modal cinta dan sayang.

"Aku menikah itu karena ingin bahagia," ucap suamiku. Ucapan itu tak hanya sekali dua kali terlontar dari mulutnya. Aku hanya mendiamkan saja. Toh aku sebenarnya tak menuntut macam-macam kepadanya.

Nafkah lahir batin pun sering diabaikannya. Aku coba memahami posisinya yang masih menjadi guru non PNS. Namun makin lama usia pernikahan, perselisihan terus terjadi. Suamiku kurang bisa menjaga perasaanku. 

Aku memang menikah di usia kepala tiga. Namun aku selalu berprasangka baik kepada Allah. Program hamil pun kulakukan. Saat program hamil berjalan, suamiku tak berikhtiar sepenuh hati. Malah dia mengucapkan hal yang menyakiti hatiku.

"Kita sudah tua, dik. Jadi..." ucapan suamiku itu begitu menyayat hati. Tak kudengar lagi lanjutan ujaran suamiku.

"Toh aku sudah punya Andra," lanjutnya.

Ya suamiku memang membawa anak sambung. Aku mencoba untuk lapang dada dalam mengasuhnya. Namun apa yang kulakukan selalu saja salah di mata suami dan mertua. 

Suami dan mertuaku ingin aku mendidik Andra. Tetapi tidak mau jika kuajari seperti mengajari keponakanku. Kalau mengajari keponakan, aku selalu mengingatkan cara belajarnya. Bukan mempermudahnya.

Sungguh, aku sadar jika pernikahan dengan duda beranak satu bukanlah ibadah yang mudah. Usaha demi usaha kulakukan.

"Kita diajak jagong ke paklik, dik." Ujar suamiku.

Jika saja pelaksanaan bukan saat jam kerja, aku pasti ikut. Namun karena aku adalah pegawai pemerintah tidak bisa secara sembarangan meninggalkan tempat kerja.

**

"Dik, kalau malam Minggu aku diminta ibu ke rumahnya."

Aku terdiam. Terus terang aku bingung. Bagaimana aku harus bersikap. 

Di rumah hanya ada bapak yang sudah sepuh. Sendirian. Paling-paling bersama ponakanku yang masih kelas V. Rasanya tak tega meninggalkan bapak sendirian.

Tanpa basa-basi, suamiku bergegas mengambil tas dan mengendarai motornya. Aku hela napas panjang.

Aku sadar, aku tak boleh menghalangi suami untuk berbakti kepada orangtuanya. Itu memang kewajiban anak lelaki. Namun semakin lama, suami lebih sering pamit pulang ke rumah orangtuanya.

"Nanti bisa jadi masalah, mas. Kalau mas sering ke rumah ibu-bapak, sementara aku di rumah."

"Lha kan aku pulang ke rumahku sendiri," jelasnya santai.

**

Beberapa hari suami tak pulang. Tiba-tiba saja kuterima chat darinya.

"Aku ingin menjadi duda lagi saja," chat suamiku saat lemburan di kantornya.

Memang saat itu, ada pertengkaran kecil. Masalah aku beli tanah. Suamiku tak setuju. Namun aku tak perlu menjelaskan kepada suamiku kenapa aku membeli tanah. Rencana pembelian tanah sudah lama, bahkan sebelum aku dinikahi suamiku.

Saat dia "pergi" untuk pertama kalinya, aku sedih. Kutumpahkan perasaan kepada saudara-saudaraku. Atas pertimbangan mereka, aku menemui suami di tempat kerjanya. 

Aku berharap, kami saling introspeksi diri. Kenyataannya visi misi rumah tangga tak bisa disatukan.

"Karena hubungan kita sulit, aku maju ke PA, dik." 

Keputusan yang diambil itu hanya dinyatakan lewat WA. Selang beberapa hari, barulah kubalas WAnya. Kupersilakan dia maju ke PA.

**

Jalan hidup orang memang tak sama. Pasti punya masalah pelik sendiri-sendiri. Akhirnya, setelah menjadi ASN, suamiku malah kelabakan sendiri. Dia meminta tanda tanganku untuk membeli perumahan. Lagi-lagi itu dikomunikasikan lewat WA.

Kujawab kalau aku tidak mau menandatangani apapun. Itu yang membuat suamiku kalang kabut. Ya, aku sudah terlanjur sakit hati. Tak bisa kupertahankan rumah tanggaku. Jadi tak mungkin aku mau tanda tangan.

Suami yang semula ingin maju ke PA akhirnya berbalik arah. Dia ingin mempertahankan rumah tangga kami. Kekecewaan ditinggal berbulan-bulan, saat aku sakit tifus tanpa menanyakan kabarku. Malah dia menuduhku tengah bersandiwara. Lalu tiba-tiba saja ingin bersatu lagi.

Sekali lagi, aku tak bisa. Aku memutuskan menggugat suamiku. Aku ingin hidup tenang dan fokus pada pekerjaan. Tak ingin lagi memikirkan mertua yang selalu mencampuri urusan rumah tangga, termasuk keuangan.

Apapun yang terjadi, aku ingin lepas dari suamiku. Kuyakin ada kemudahan dariNya.

Takkan kupinta doa ibu lagi. Karena tugasku kini mendoakannya agar tenang di alam sana. Namun kuyakin, doa ibu kala masih ada dan saudara-saudara, akan menguatkan aku.

Branjang, 31 Maret-1 April 2022

Cerita fiksi, jika ada kesamaan kisah atau tokoh, itu hanya kebetulan saja.

#cerpen jora #inspirasi lagu #untuk dikenang 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun