Saat kau ucapkan kalimat itu, hatiku sangat tertusuk. Aku tak pernah menyangka kalau kau yang sebelumnya begitu energik, riang dan memahamiku, kini salah paham.Â
Dan bodohnya kesalahpahaman itu karena pesan yang kukirimkan untukmu. Pesan lewat sosmed.
Aku memang belum berani menjumpaimu selepas perpisahan kita waktu lulus SMP. Kita melanjutkan belajar di sekolah yang berbeda.Â
Otakmu lebih cemerlang, hingga kau bisa sekolah di SMA favorit di kabupaten kita. Sementara aku, harus ikhlas bersekolah dekat rumah. Sebuah sekolah swasta. Prinsipku, yang penting aku sekolah dan nantinya aku bisa kuliah atau mendaftar jadi tentara.
Selama SMA kita tak bisa berkomunikasi. Maklum, waktu itu belum ada hand phone. Baru ada telpon rumah yang biasanya menjadi langganan orang-orang kaya dan itupun di perkotaan.
Komunikasi baru agak mudah setelah ada wartel. Warung telekomunikasi. Tentu kamu ingat itu.
Namun lagi-lagi kita tak pernah berkomunikasi. Aku tak punya nomor telepon kos-mu. Itu terjadi hingga kau kuliah dan aku memutuskan untuk mendaftar jadi tentara. Alhamdulillah aku lolos.Â
Aku ingin memberi kabar padamu. Tapi kuurungkan niatku. Aku ingin sukses dulu, baru akan kutemui kau. Walau aku tak tahu, pertemuan itu akan menyakitkan hatiku atau tidak.
Bagaimana tidak, kau kuliah. Di perguruan tinggi negeri lagi. Kutahu itu dari teman-teman yang juga lolos UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Kalau aku menemui saat belum sukses, tentu aku yang hanya lulusan SMA akan canggung dengan mahasiswi cerdas sepertimu. Dan pastinya akan banyak mahasiswa yang menyukaimu.
Terkadang hatiku tersenyum kecut kalau membayangkan perasaanku jika kecewa karena bertepuk sebelah tangan. Aku bersaing dengan puluhan mahasiswa yang pastinya bisa meluluhkan hatimu.
***
Perasaanku memang kupendam selama ini. Namun menginjak usia duapuluh empat, aku belum juga mendapatkan hati perempuan. Itu menjadi bahan ejekan teman-temanku.
Mereka sering meledek kalau aku tak punya nyali untuk dekat dengan perempuan. Ada di antara temanku mau mengenalkan aku dengan saudara atau teman kekasihnya. Tentu saja itu kutolak.
Aku mau menemuimu seperti yang kutekadkan sejak dulu. Beruntungnya aku bertemu Dino. Dia cerita kalau punya nomor kontakmu.Â
Akhirnya handphone memang mulai menjamur di Indonesia. Ya ..meski belum bisa video call. Dengan semangat aku meminta nomor kontakmu.Â
***
Suara riangmu saat kutelepon mengisi dan membahagiakan hatiku. Ragaku yang lelah oleh latihan fisik di lapangan menjadi semangat.
Bulan Ramadhan aku semakin intens meneleponmu. Kita kembali dekat setelah sembilan tahunan tak saling memberi kabar. Seperti dulu. Aku menerka pasti kau semakin cantik.
Hatiku menjadi ciut kalau membayangkan itu. Apalagi kau sering bercerita tentang sahabat-sahabatmu atau kakak tingkatmu yang sudah lulus. Lalu apa aku ini bagimu?
Mungkin aku terlalu gede rasa. Jadi aku mulai menjauhimu. Untuk mengetahui seberapa berartinya aku bagimu. Aku yang hanya lulusan SMA.
***
Hatiku tersayat oleh ucapanmu. Ya, kusadari itu kesalahanku. Harusnya aku segera menemuimu begitu waktu hari raya tiba. Namun aku menunda-nunda waktu.
"Emangnya aku ini apamu?" Suaramu sangat menamparku.
Aku tahu kalau kau memang dari dulu ekspresif. Kalau kesal sama orang lain, pasti ceplas-ceplos, tak ada yang bisa menghalangi.
Pertanyaanmu itu membuatku bertekad untuk menepikan harapanku. Meniti sepi. Entah sampai kapan. Yang pasti aku tahu diri kalau aku tak pantas untukmu, mahasiswi yang kemarin lulus dengan predikat cumlaude.
Branjang, 13 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H