Saat kau ucapkan kalimat itu, hatiku sangat tertusuk. Aku tak pernah menyangka kalau kau yang sebelumnya begitu energik, riang dan memahamiku, kini salah paham.Â
Dan bodohnya kesalahpahaman itu karena pesan yang kukirimkan untukmu. Pesan lewat sosmed.
Aku memang belum berani menjumpaimu selepas perpisahan kita waktu lulus SMP. Kita melanjutkan belajar di sekolah yang berbeda.Â
Otakmu lebih cemerlang, hingga kau bisa sekolah di SMA favorit di kabupaten kita. Sementara aku, harus ikhlas bersekolah dekat rumah. Sebuah sekolah swasta. Prinsipku, yang penting aku sekolah dan nantinya aku bisa kuliah atau mendaftar jadi tentara.
Selama SMA kita tak bisa berkomunikasi. Maklum, waktu itu belum ada hand phone. Baru ada telpon rumah yang biasanya menjadi langganan orang-orang kaya dan itupun di perkotaan.
Komunikasi baru agak mudah setelah ada wartel. Warung telekomunikasi. Tentu kamu ingat itu.
Namun lagi-lagi kita tak pernah berkomunikasi. Aku tak punya nomor telepon kos-mu. Itu terjadi hingga kau kuliah dan aku memutuskan untuk mendaftar jadi tentara. Alhamdulillah aku lolos.Â
Aku ingin memberi kabar padamu. Tapi kuurungkan niatku. Aku ingin sukses dulu, baru akan kutemui kau. Walau aku tak tahu, pertemuan itu akan menyakitkan hatiku atau tidak.
Bagaimana tidak, kau kuliah. Di perguruan tinggi negeri lagi. Kutahu itu dari teman-teman yang juga lolos UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Kalau aku menemui saat belum sukses, tentu aku yang hanya lulusan SMA akan canggung dengan mahasiswi cerdas sepertimu. Dan pastinya akan banyak mahasiswa yang menyukaimu.