"Alaaah... sinetron lagi! Aku nggak suka!", Ujar si sulung.
Memang dia tidak suka tayangan sinetron. Tayangan kesukaannya tentang masakan, hal lucu, dan tayangan hiburan yang ada pengetahuannya.
Lain lagi dengan adiknya, tayangan seperti itu tak suka. Tak jarang si sulung dan adiknya ribut gara-gara rebutan channel televisi.
Sikap kritis anak pada tayangan televisi
Saat jalan-jalan pagi tadi, tiba-tiba si sulung tanya tentang cerita legenda Roro Jonggrang.
"Apa bener cerita legenda Roro Jonggrang itu ada, Bu?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu saya memastikan, dia membaca atau menyaksikan cerita dari televisi. Ternyata dia mendapatkan cerita itu dari televisi.Â
"Itu cuma cerita karangan saja, Za." Jawab saya singkat.
"Tapi kalau kita ke pantai katanya nggak boleh mengenakan pakaian hijau. Kalau pakai hijau, kita bisa diculik Roro Jonggrang. Hiii... takuuttt!"
Saya mengernyitkan dahi.
"Kok Roro Jonggrang, Za? Bener nggak itu tadi?"
"Iya, Bu!"
Saya menjelaskan kalau Roro Jonggrang itu ceritanya tentang pendirian Candi Prambanan. Bukan tentang pantai atau laut. Saya memintanya agar mengingat-ingat lagi.Â
"Kalau ceritamu tadi itu cerita Roro Kidul, Za..."
Setelah mengingatkan nama Roro Kidul, barulah saya kembali menekankan kalau cerita seperti itu hanya cerita karangan. Seperti cerita rakyat lainnya.
Meski hanya cerita karangan atau rekaan manusia, namun ada nilai atau pelajaran yang bisa diambil hikmahnya.
"Tapi kalau kamu pernah mendengar cerita tentang kisah nabi, itu beneran ada." Jelas saya di akhir percakapan saat jalan-jalan pagi. Dengan penekanan itu, saya ingin dia dan nanti adik-adiknya tahu kalau nabi itu bukan cerita rekaan seperti Roro Jonggrang atau Roro Kidul.
"Kalau nanti ke pantai, aku nggak mau pakai baju hijau ah. Takut diculik Roro Kidul!"
Anak Belajar Menarik Pelajaran dari Tayangan Televisi
Ketika si sulung tak menyukai sinetron atau tayangan lain, saya menganggap bahwa dia sudah dapat menarik kesimpulan bahwa tayangan itu tidak asyik baginya.
"Adanya orang bertengkar! Aku nggak mau nonton!" Begitu ceritanya.
Saya tersenyum dan kembali memberitahu kalau misalnya tahu bertengkar itu tidak baik ya tidak boleh bertengkar dengan adik atau teman.
Begitu juga ketika si sulung memutuskan untuk tidak mau berpakaian warna hijau ketika ke pantai, dia sudah belajar menarik kesimpulan dan mengambil pelajaran serta solusi yang tepat. Meski sebenarnya belum tentu kebenaran dari cerita Roro Kidul.
Malah saya juga tersenyum dan membatin, "kok sama dengan ibu dulu. Pas masih kecil diceritai kalau nggak boleh mengenakan pakaian warna hijau saat ke pantai biar nggak dibawa arus laut selatan."
Berkah atau musibah?
Menilai berkah atau musibah saat anak mulai kritis pada tayangan televisi, semua tergantung pada tayangan yang ditonton. Jika yang ditonton adalah tayangan kategori untuk usia anak ya tentu menjadi berkah. Artinya anak belajar tentang ilmu, pengetahuan sekaligus solusi terhadap sebuah situasi.Â
Namun jika yang ditonton bukan tayangan untuk remaja atau dewasa, tentu menjadi musibah. Saya kira semua setuju dengan hal ini.
Semoga para orangtua, termasuk saya, bisa mendampingi dan mengarahkan anak agar menyaksikan tayangan yang sesuai peruntukannya. Agar anak bisa berpikir sesuai usia dan tidak dewasa sebelum waktunya.Â
Bagaimanapun orangtua pastinya tidak mau jika anak rusak karena tayangan televisi yang tidak sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak. Anaklah yang akan menjadi pemimpin masa depan. Biarkan mereka kritis sesuai usianya dan kita sebagai orang tua harus siap menjawab pikiran kritisnya dengan bahasa yang mudah dipahami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI