Program Organisasi Penggerak (POP) digulirkan sejak beberapa bulan lalu. Semua organisasi bisa mendaftar sejak Maret. Namun sampai pengumuman siapa saja yang mendapat dana APBN melalui POP akhirnya menuai pro-kontra.
Banyak hal yang dipertanyakan berkaitan dengan POP ini. Intinya POP akan memberikan pendidikan atau bisa saya katakan diklat bagi guru agar bisa menggerakkan dunia pendidikan secara maksimal.
Akun PKB merupakan akun yang dimiliki oleh masing-masing guru. Dahulu, akun ini dinamakan Guru Pembelajar (GP) yang diluncurkan saat Mendikbud dipegang oleh Anies Baswedan. Kemudian diganti namanya menjadi Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB).
Diklat PKB adalah pengembangan kompetensi yang dilakukan guru sesuai kebutuhan, bertahap, dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan profesionalitasnya. (Wikipedia)
Jika menilik bagaimana GP atau PKB, bisa ditanyakan kepada para Instruktur Nasional (IN) dan guru-guru yang didiklat untuk lolos menjadi Mentor bagi guru lainnya.
Untuk menjadi IN, ada banyak penilaian yang dilakukan langsung dari pusat. Kemudian IN ini bertugas memberikan diklat bagi guru yang nilai UKG (Uji Kompetensi Guru)-nya tinggi.Â
Itu konsep dari Diklat GP atau PKB. Guru yang nilai UKGnya tinggi dan menguasai IT yang didiklatkan, dialah yang membantu teman lainnya. Menurut saya konsep ini bagus.
Saya analogikan seperti dalam kelas sekolah. Ada Tutor Teman Sebaya (TTS). Siswa yang kemampuannya lebih, membantu temannya yang kesulitan belajar.Â
Mungkin banyak yang meragukan TTS ini. Namun kebanyakan siswa merasa nyaman diajari temannya. Ada rasa takut bertanya kepada guru namun terbantu dengan ada temannya yang mau membantu.
Nah, guru pun demikian. Bisa menjadi teman belajar yang baik bagi sesama guru. Namun tak ada kesan menggurui. Jika berkecimpung di dunia pendidikan, pasti sudah lebih berpengalaman dalam hal ini.
Beberapa tahun berselang, Diklat untuk guru tak hanya PKB. Namun ada PKP (Peningkatan Kompetensi Pembelajaran). Program PKP, merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi siswa melalui pembinaan guru dalam merencanakan, melaksanakan, sampai dengan mengevaluasi pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi. (supiyadi74.blogspot.com)
Konsepnya sama dengan PKB. Malah saya berpikir bahwa PKP ini sebenarnya Diklat bagi guru yang diambil dari salah satu alternatif Diklat PKB. Pada Diklat PKP para guru yang menjadi peserta diklat, lebih banyak belajar online.Â
Semua materi dan tugas didapat para peserta PKP dan dikirimkan melalui akun PKB masing-masing. Perlu saya uraikan, dalam akun PKB memang ada beberapa kategori diklat bagi guru, yaitu Diklat K13, Diklat PKB dan Diklat PKP.Â
Nah, kebetulan yang dipilih oleh Dinas adalah diklat tatap muka. Selama Diklat, ada banyak yang didiskusikan dan ilmu yang diperoleh dari IN dan sesama peserta. Meski IN usianya lebih muda daripada peserta, bukan masalah. Belajar dengan siapapun, tidak ada dosanya.
Diklat dilaksanakan pada semester satu. Biasanya mepet bulan Desember. Dari keterangan pelaksana, anggaran Diklat memang harus dicairkan pada semester satu.Â
Bisa dibayangkan betapa repotnya IN dan guru yang menjadi peserta Diklat. Di saat waktu mepet untuk menyelesaikan materi pelajaran, eh...malah harus Diklat.Â
Kerepotan ini juga dialami oleh guru yang mengikuti Diklat online ---PKP---. Jika Diklat PKB dikelola Dinas Pendidikan setempat, maka Diklat PKP ini dikelola langsung dari pusat. Ini letak perbedaannya. Akan tetapi bisa jadi mentor PKB dobel tugas menjadi mentor PKP.
Permasalahan utama pada pelaksanaan Diklat PKP bukan karena sulitnya materi diklat. Peserta masih bisa belajar dari banyak pihak dalam mengerjakan tugas diklat. Namun kendala sinyal buruk yang membuat para peserta Diklat stress.
Terkadang untuk mengunggah satu file tugas membutuhkan waktu yang sangat lama. Setidaknya ini yang dialami teman kantor dan para guru di sekolah lain, di sekitar kabupaten kami.
Itu terjadi di tanah Jawa. Tak terbayang bagaimana Diklat PKP di luar Jawa.Â
Jika ada PKB dan PKP, kenapa mesti ada POP?
Sekarang saya coba tunjukkan beberapa menu dalam akun PKB. Di sana ada Program Organisasi Penggerak yang berdiri sendiri. Sementara pada menu Pelatihan Diklat hanya ada 3 macam seperti yang saya uraikan di depan.
Apakah Diklat seperti itu dinilai kurang berhasil dalam menyukseskan pendidikan nasional? Padahal kesuksesan pendidikan nasional tidak melulu karena sekolah atau guru.Â
Lagi pula, saya ingat bahwa pemerintah menghendaki kompetensi guru meningkat. Nah masing-masing guru sudah memegang nilai UKGnya. Dari nilai ini kan bisa diperbaiki yang kurang sesuai Rencana Tindak Lanjut yang sudah ada pada juknis. Seperti yang selama ini dilakukan. Guru didiklat sesuai dengan nilai merahnya. Jika nilainya hijau ya tidak didiklat pada materi tersebut.
Nah melihat struktur pada menu akun PKB, wajar kan jika muncul pertanyaan, kenapa tak dimaksimalkan saja Diklat PKB dan PKP? Bagaimana nasib diklat-diklat dan nilai UKG guru? Apakah diklat itu sengaja ditinggalkan? Ataukah setiap ada menteri baru, program diklat bagi guru harus baru meski konsepnya jika dilihat dan dicermati ya sama saja?
Jika seperti ini terus, guru hanya sibuk dengan program baru, sementara hal krusial pendidikan ---PJJ--- di masa pandemi belum ada solusi yang baik sampai saat ini. Kurikulum darurat tak ada, kendala sinyal dan keluhan yang berkembang di pelosok masih santer terdengar.
Hanya waktu yang akan menjawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H