Beberapa hari yang lalu saya bersama teman kantor menyempatkan diri "tilik" sebuah situs bersejarah di dusun sebelah, Situs Gondang. Situs ini berada di dusun Gondang, kelurahan Ngawis, Kapanewon Karangmojo, Gunungkidul.
Saya mengatakan "tilik" karena saya pernah ke sana beberapa tahun yang lalu bersama anak didik. Saya merasa penasaran dengan penampilan situs bersejarah itu saat ini.
Sesampai di sana, ya...layaknya peninggalan sejarah, terasa sepi lokasinya. Nyaris seperti kuburan. Tanpa ditunggu dan dikunci pada pagar yang mengelilingi situs tadi.
Sebenarnya situs tadi tidak terlalu kotor. Namun dilihat oleh masyarakat umum dan awam, bisa jadi koleksi peninggalan sejarah itu hanya kumpulan batu tak bermakna.
Kondisi ini agak berbeda dengan situs serupa di desa sebelah, Situs Sokoliman. Situs di desa sebelah sudah dibangun dengan menarik dan jauh dari kesan singup atau angker.Â
Saya merasa harus mengenalkan kepada anak didik saya bahwa peninggalan sejarah di sekitar sekolah atau tempat tinggal anak didik itu sangat banyak.
Dengan pengenalan itu anak didik ke depannya bisa berperan menjaga kelestarian peninggalan sejarah. Mereka harus tahu bahwa banyak koleksi sejarah Indonesia yang kini tak lagi berada di Indonesia.
Jadi suatu saat mereka bisa mengusahakan benda-benda cagar budaya yang berada di luar negeri bisa kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.Â
Bagaimana reaksi anak didik ketika diajak belajar dan bermain di situs yang dikunjungi? Merasa tertarikkah?
Begini, saya dulu kuliah di jurusan pendidikan sejarah. Pada jurusan ini setidaknya kami KKL tiga kali dengan mengunjungi beberapa tempat bersejarah.Â
Ada beberapa mahasiswa yang antusias dalam mencermati benda-benda bersejarah baik di museum, situs atau candi. Ada juga yang biasa-biasa saja. Bahkan ada yang lebih senang berfoto ria.
Lumrahkah?Â
Saya katakan bahwa dalam masa pendidikan perkuliahan seharusnya mahasiswa sangat antusias. Mereka terjun langsung ke peninggalan sejarah baik insitu maupun eksitu.
Namun namanya motivasi mahasiswa dalam berkuliah juga tak sama. Jadi saya pribadi, sebagai mahasiswa, dulunya tak terlalu memikirkan bagaimana teman saya. Saya hanya memikirkan bagaimana biar cepat lulus kuliah.
Nah, jika menilik dunia mahasiswa yang seperti itu, maka saya rasa pada tingkatan anak ---terutama SD---, jika mau diajak ke lokasi situs bersejarah dan bersemangat berkeliling itu sudah cukup.
Ya mereka perlu mengenal dulu. "Oh...ini yang namanya benda bersejarah." Paling tidak mereka berpikir seperti itu.
Nanti setelah mereka diajak ke situs-situs bersejarah lainnya maka akan ada kesan bahwa meski benda bersejarah meski terlihat kuno, ternyata sangatlah berharga. Tak bisa digantikan dengan uang seberapapun.
Saat itu para siswa sulit memahami cara pelestarian peninggalan sejarah. Begitu saya ajak berwisata sejarah, mereka bisa lebih paham tentang peninggalan sejarah itu apa. Hingga bisa menyimpulkan bahwa peninggalan sejarah harus dijaga dan dirawat siapapun.
Ya tentu mereka bisa paham dan menyimpulkan seperti itu karena ada kesan meski mungkin hanya sedikit akan benda-benda di penampungan atau situs-situs bersejarah.Â
Dengan kesan mereka, meski sebenarnya tak begitu tertarik dengan peninggalan sejarah tadi, maka di kemudian hari mereka tidak kaget lagi untuk menyikapi pelestarian benda purbakala.
Menarik atau tidaknya benda bersejarah bagi anak didik tentu menjadi tanggung jawab guru untuk mengenalkannya. Semoga saja, kelak mereka tertarik untuk selalu menjaga dan melestarikannya sesuai nasehat guru di masa kecilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H