Hari ini Amalia, sahabatku, tengah mengadakan resepsi pernikahannya. Dia menikah dengan cinta monyetnya dulu, Edo. Aku sempat menyangsikan rencana pertunangan mereka. Namun mereka berdua menjawab keraguanku itu.
Tentu aku sangat bahagia dengan keseriusan mereka. Jodoh memang tak ada yang tahu. Rahasia Illahi. Putus nyambung, putus nyambung bisa berakhir bahagia seperti mereka.
**
"Kamu musti datang ke pesta pernikahanku ya, Ra!"Â
Amalia mengundangku khusus dengan datang ke rumahku. Aku ragu untuk mengatakan iya kepadanya.Â
Amalia terus merajuk. Dia mengatakan padaku bahwa saat pernikahannya, dia ingin semua sahabat masa kecilnya bisa datang sekaligus reuni.
Aku menelan ludah. Itu sama artinya aku akan bertemu dengan Aji, teman spesial di masa laluku. Secara mendadak hubungan kami terputus karena dia mengikuti orangtuanya. Maklumlah ayah Aji adalah seorang prajurit. Jadi kapan saja bisa pindah tempat tugas. Waktu itu kami sama-sama kelas 3 SMP.
Hatiku menjadi sesak, saat berpisah dengannya. Dengan diiringi rintik hujan yang tiada henti, dia berpamitan dan berjanji akan menemuiku lagi. Namun kenyataannya dia mendustai janjinya.
Atau aku sendiri yang terlalu berharap bisa hidup bersamanya di masa dewasaku.
"Siapa tahu nanti Aji datang, Ra!" goda Amalia waktu mengundangku. Dia tahu kalau sampai aku bekerja saat ini masih memikirkan Aji.
Aku tersenyum.
"Eh...tapi belum tentu juga ya. Kudengar dari pamannya, Aji sekarang jadi tentara juga. Nggak bisa bebas ke mana-mana..."
**
Di pesta pernikahan Amalia ini semua sahabat masa kecil kami datang. Di antara mereka ada yang sudah menikah, tunangan, punya anak. Sementara aku?
Aku berusaha mencari sosok Aji yang bisa saja datang, entah dengan siapa. Dan jika kutahu dia telah menemukan belahan hatinya, hanya satu yang aku harapkan, bisa melupakan mimpiku bersamanya.
Suasana pesta begitu ramai meski dengan pesta adat tradisional. Semua tamu undangan mengikuti acara demi acara dari panggih manten hingga sungkeman.
Kubayangkan aku dan Aji yang menjalani prosesi itu. Lalu bayang-bayang itu kutepis jauh-jauh.
"Sudah, Ra. Sudah! Lupakan dia" batinku.
**
Akhirnya pesta pernikahan usai. Satu persatu tamu undangan berpamitan. Demikian juga aku.
Aku berpamitan pada Amalia, suami dan keluarganya. Kupeluk erat sahabatku itu. Diam-diam kupetik kembang kanthil yang masih terjuntai di bahu kiri Amalia.
Aku begitu bodoh melakukan itu. Ya dari dulu, ada sebuah mitos kalau perjaka atau perawan bisa mencuri kembang kanthil manten maka dia akan segera menyusul menikah.
Aku menertawakan kebodohanku itu sesaat. Lalu kulangkahkan kakiku menuju parkir. Sementara tanganku masih menggenggam kembang kanthil.
Sungguh sayang, belum sampai aku menemukan motorku yang sudah pindah tempat, langit yang hitam mulai menitikkan air langitnya.Â
Lama kelamaan rintik hujan semakin deras. Kudekati tetesan air dari atap teras rumah Amalia. Tanganku yang menggenggam kembang kanthil kubuka, kusodorkan dan kutengadahkan pada tetesan air hujan.
Kubiarkan kembang kanthil basah. Bahkan jika kembang itu jatuhpun, aku ikhlas. Seperti hatiku yang harus mengikhlaskan untuk tidak lagi bertemu dengan Aji.
"Hati-hati, kembang kanthilnya bisa jatuh, Ra..."
Tiba-tiba suara berat seorang lelaki menyapaku. Suara itu tak kukenal. Tetapi dia seperti mengenaliku.
Kutoleh ke arah suara berasal. Ada lelaki tinggi besar yang berdiri di sampingku. Dia tersenyum.
"Kamu lupa padaku?" tanyanya pelan.
Aku berusaha mengingat-ingat, siapa gerangan lelaki itu.
"Kalau kamu lupa, mungkin ini karena salahku, Ra. Aku pernah berjanji akan menemuimu, tetapi kudustai..."
Aku mengernyitkan dahiku. Ingatanku meraba-raba tentang lelaki itu.
"Namun sekarang aku baru bisa mendatangimu. Kuberharap aku tidak terlambat, Ra..."
Aku terhenyak. Hanya satu orang yang memiliki janji padaku. Kuberanikan diri menatap wajah lelaki itu. Dan... iya. Lelaki itu adalah orang yang kunantikan selama ini.
"Aji...?" kusebut nama itu pelan.Â
Lelaki itu tertawa.
"Kamu jahat, tahu!" ucapku kesal karena janjinya yang tak dipenuhinya dulu. Kutinjukan kepalan tanganku ke lengannya.Â
"Iya. Tapi aku tak terlambat kan, Ra?"
Diperhatikannya tangan kananku yang basah dan masih menggenggam kembang kanthil.Â
"Bukan karena kembang itu aku datang. Tetapi karena ini..." tangan Aji mengepal dan meletakkannya di dada sebelah kirinya.
"Ya Allah, hujan ini kurasakan membawa kebahagiaan untukku" batinku penuhh syukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H