Aku menertawakan kebodohanku itu sesaat. Lalu kulangkahkan kakiku menuju parkir. Sementara tanganku masih menggenggam kembang kanthil.
Sungguh sayang, belum sampai aku menemukan motorku yang sudah pindah tempat, langit yang hitam mulai menitikkan air langitnya.Â
Lama kelamaan rintik hujan semakin deras. Kudekati tetesan air dari atap teras rumah Amalia. Tanganku yang menggenggam kembang kanthil kubuka, kusodorkan dan kutengadahkan pada tetesan air hujan.
Kubiarkan kembang kanthil basah. Bahkan jika kembang itu jatuhpun, aku ikhlas. Seperti hatiku yang harus mengikhlaskan untuk tidak lagi bertemu dengan Aji.
"Hati-hati, kembang kanthilnya bisa jatuh, Ra..."
Tiba-tiba suara berat seorang lelaki menyapaku. Suara itu tak kukenal. Tetapi dia seperti mengenaliku.
Kutoleh ke arah suara berasal. Ada lelaki tinggi besar yang berdiri di sampingku. Dia tersenyum.
"Kamu lupa padaku?" tanyanya pelan.
Aku berusaha mengingat-ingat, siapa gerangan lelaki itu.
"Kalau kamu lupa, mungkin ini karena salahku, Ra. Aku pernah berjanji akan menemuimu, tetapi kudustai..."
Aku mengernyitkan dahiku. Ingatanku meraba-raba tentang lelaki itu.