Alhamdulillah, tanggal 21 Desember telah terlalui dengan lancar. Tanggal dimana saudara kembar saya menikah. Ya...saya terlahir sebagai anak kembar. Bahkan kembar tiga. Hanya saja, saudara kembar saya yang terlahir terakhir, tak bisa bertahan hidup. Dia terlalu lama dalam kandungan sehingga keracunan air ketuban.
Tentu saja sebagai orang kembar, ada banyak pengalaman seru dan lucu. Mulai dari masa kecil kami, kami sering malu kalau berjalan berdua dan mengenakan pakaian yang seragam. Apalagi kalau di jalan bertemu almarhum pak Wardi, tetangga kami. Beliau sering menyapa dan menggoda kami dengan nyanyian, yang sampai saat ini masih saya ingat.
"Klambine kembaran uyak-uyakan"
Begitu kurang lebih lagunya. Saya sendiri tak tahu, apa memang ada lagu seperti itu atau hanya lagu buatan beliau sendiri. Yang jelas, kami malu.Â
Masuk usia sekolah, kami masuk TK selama satu semester dan langsung masuk SD. Tahun 1988 kami masuk SD. Dari semua guru yang mengajar kami, jarang yang bisa membedakan kami. Namun, tetap bisa membandingkan kemampuan kami.
Dari segi tulisan, tulisan saya kalah dengan tulisan saudara saya. Kalau ranking ---waktu itu masih ada sistem ranking--- saya juga kalah. Tak apa, saya tak pedulikan itu.
Ada seorang guru kami yang bercerita dan setengah bertanya, "Kalian itu bedanya apa, kok sampai kalian kelas VI, aku tidak bisa membedakan kalian..."
Guru kami menatap wajah kami berdua.Â
"Ooo... ada tahi lalat di hidungmu..."
Guru kami akhirnya bisa membedakan. Namun, jika sekarang bertemu lagi, sudah pasti bingung juga.
Menginjak usia SMP. Kami masih berada di satu sekolah yang sama. Bahkan sekelas. Teman-teman tetap bisa membedakan. Namun seperti di SD, guru tak begitu bisa membedakan kami. Mengenai prestasi, tak ada yang menonjol. Kebetulan banyak teman yang lebih pandai daripada kami.
Di SMA, banyak teman yang tak bisa membedakan kami. Sampai saat ini. Jika ada yang bertanya, kami hanya tersenyum. Apalagi jika berkomunikasi lewat akun sosial media.
Ada teman yang bertanya, "Teman yang dulu sekelas denganku yang mana ya?"
Oh iya. Masa sekolah SMA kami juga tak beda. Masih satu sekolah. Hanya beda kelas saja. Kelas 1 saya di kelas B, kembaran saya di kelas A. Kelas 2 saya di kelas C, kembaran saya di kelas D. Barulah di kelas 3, kami kembali dalam satu kelas. Kelas IPS 3.
Memang menjadi orang kembar itu seru. Sering disapa ramah seseorang yang membuat kami berpura-pura kenal. Dan pada akhirnya orang itu sadar kalau saya bukan orang yang dimaksud. Begitu juga sebaliknya.Â
Kembaran saya pernah bercerita, "Aku tadi ketemu sama bu siapa ya, mbak. Dia bilang guru SMP..."
Oh iya. Meski kami kembar, saya disapa "mbak" oleh kembaran saya. Sesuai yang diajarkan orangtua.
Pernah juga teman diklat PLPG yang berkomentar di grup FB kalau dia mengaku bertemu dengan seorang yang tidak asing di kampus. Tapi dia merasa tak disapa. Teman saya kuliah S2 di kampus yang sama dengan kembaran saya.
Tentu saya tahu arah pembicaraannya karena saya sudah dibilangi kembaran saya.
"Mbak, aku tadi ketemu bapak-bapak muda yang menyapa. Aku langsung mikir kalau dia temanmu..." cerita kembaran saya.
Saya langsung membalas komentar teman saya itu.Â
"Maaf ya, mas guru. Dia kembaranku. Jadi dia agak bingung juga pas njenengan sapa..."
**
Meski kami kembar, bukan berarti nasib kami sama. Rezeki kami beda. Saya menikah tahun 2008. Kembaran saya tahun 2019 menikah. Tentu saya sangat berbahagia dengan pernikahannya.
Rasa sedihnya ketika saya menikah dulu terbayang di hati dan pikiran saya. Saya tahu informasi itu dari teman kerjanya.
"Mbak Zah nangis, mbak. Dia lari ke kamar mandi. Sembunyi-sembunyi nangisnya. Terus kuhibur dia. Rezeki memang beda..."
Kembaran saya menyadari, namun mungkin rasa kehilangan teman sekaligus saudara yang membuatnya menangis. Maklum setelah lulus SMA, meski beda kampus, saya sering mengantar-jemput dia.Â
Selama 26 tahun bersama, lalu saya dinikahi seorang lelaki. Mungkin itulah yang membuatnya terpukul. Dengan jeda waktu sebelas tahun, akhirnya dia dipertemukan dengan jodohnya.Â
Alhamdulillaah. Bahagianya juga bahagia saya. Doa mengalir dari para sahabat. Baik sahabat masa SD, SMP, SMA, kuliah maupun penulis yang mengenal saya. Juga saudara-saudara di perantauan.
Masih ada saudara yang keliru mendoakan. Dia mengira saya yang menikah, padahal saya sudah punya suami dan tiga anak. Teman penulis pun sempat bingung. Ada yang mengira hal yang sama. Ada juga yang mengira saya menikahkan anak.Â
Jika berbicara tentang keseruan dan lucunya pengalaman sebagai orang kembar, pasti tak ada habisnya.Â
Satu lagi, meski terlahir kembar, saya pribadipun kalau bertemu teman, adik kelas, atau kakak kelas yang kembar pasti juga bingung untuk menyebut namanya. Seperti kemarin ketika jagong manten di tempat saudara, saya menyapa adik kelas masa SMA. Tetapi, saya bertanya pada kembaran saya yang kebetulan juga ikut jagong.
"Itu tadi Ana apa Ani ya?"Â
Nah kan? Seru juga punya kenalan yang kembar. Bagaimana dengan anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H