**
Meski kami kembar, bukan berarti nasib kami sama. Rezeki kami beda. Saya menikah tahun 2008. Kembaran saya tahun 2019 menikah. Tentu saya sangat berbahagia dengan pernikahannya.
Rasa sedihnya ketika saya menikah dulu terbayang di hati dan pikiran saya. Saya tahu informasi itu dari teman kerjanya.
"Mbak Zah nangis, mbak. Dia lari ke kamar mandi. Sembunyi-sembunyi nangisnya. Terus kuhibur dia. Rezeki memang beda..."
Kembaran saya menyadari, namun mungkin rasa kehilangan teman sekaligus saudara yang membuatnya menangis. Maklum setelah lulus SMA, meski beda kampus, saya sering mengantar-jemput dia.Â
Selama 26 tahun bersama, lalu saya dinikahi seorang lelaki. Mungkin itulah yang membuatnya terpukul. Dengan jeda waktu sebelas tahun, akhirnya dia dipertemukan dengan jodohnya.Â
Alhamdulillaah. Bahagianya juga bahagia saya. Doa mengalir dari para sahabat. Baik sahabat masa SD, SMP, SMA, kuliah maupun penulis yang mengenal saya. Juga saudara-saudara di perantauan.
Masih ada saudara yang keliru mendoakan. Dia mengira saya yang menikah, padahal saya sudah punya suami dan tiga anak. Teman penulis pun sempat bingung. Ada yang mengira hal yang sama. Ada juga yang mengira saya menikahkan anak.Â
Jika berbicara tentang keseruan dan lucunya pengalaman sebagai orang kembar, pasti tak ada habisnya.Â
Satu lagi, meski terlahir kembar, saya pribadipun kalau bertemu teman, adik kelas, atau kakak kelas yang kembar pasti juga bingung untuk menyebut namanya. Seperti kemarin ketika jagong manten di tempat saudara, saya menyapa adik kelas masa SMA. Tetapi, saya bertanya pada kembaran saya yang kebetulan juga ikut jagong.
"Itu tadi Ana apa Ani ya?"Â
Nah kan? Seru juga punya kenalan yang kembar. Bagaimana dengan anda?