Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keseruan Menjadi Orang Kembar

24 Desember 2019   00:21 Diperbarui: 24 Desember 2019   00:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah, tanggal 21 Desember telah terlalui dengan lancar. Tanggal dimana saudara kembar saya menikah. Ya...saya terlahir sebagai anak kembar. Bahkan kembar tiga. Hanya saja, saudara kembar saya yang terlahir terakhir, tak bisa bertahan hidup. Dia terlalu lama dalam kandungan sehingga keracunan air ketuban.

Tentu saja sebagai orang kembar, ada banyak pengalaman seru dan lucu. Mulai dari masa kecil kami, kami sering malu kalau berjalan berdua dan mengenakan pakaian yang seragam. Apalagi kalau di jalan bertemu almarhum pak Wardi, tetangga kami. Beliau sering menyapa dan menggoda kami dengan nyanyian, yang sampai saat ini masih saya ingat.

"Klambine kembaran uyak-uyakan"

Begitu kurang lebih lagunya. Saya sendiri tak tahu, apa memang ada lagu seperti itu atau hanya lagu buatan beliau sendiri. Yang jelas, kami malu. 

Masuk usia sekolah, kami masuk TK selama satu semester dan langsung masuk SD. Tahun 1988 kami masuk SD. Dari semua guru yang mengajar kami, jarang yang bisa membedakan kami. Namun, tetap bisa membandingkan kemampuan kami.

Dari segi tulisan, tulisan saya kalah dengan tulisan saudara saya. Kalau ranking ---waktu itu masih ada sistem ranking--- saya juga kalah. Tak apa, saya tak pedulikan itu.

Ada seorang guru kami yang bercerita dan setengah bertanya, "Kalian itu bedanya apa, kok sampai kalian kelas VI, aku tidak bisa membedakan kalian..."

Guru kami menatap wajah kami berdua. 

"Ooo... ada tahi lalat di hidungmu..."

Guru kami akhirnya bisa membedakan. Namun, jika sekarang bertemu lagi, sudah pasti bingung juga.

Menginjak usia SMP. Kami masih berada di satu sekolah yang sama. Bahkan sekelas. Teman-teman tetap bisa membedakan. Namun seperti di SD, guru tak begitu bisa membedakan kami. Mengenai prestasi, tak ada yang menonjol. Kebetulan banyak teman yang lebih pandai daripada kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun