Di kamar Husna, tanpa sengaja kutemukan lagi surat Husna untuk neneknya yang ditulis beberapa tahun yang lalu. Kubuka dan kubaca lagi surat itu. Surat dengan tulisan khas anak yang polos. Kusangka surat itu sudah disampaikan kepada neneknya. Ternyata masih disimpan oleh Husna.
Kulipat lagi surat Husna untuk nenek tercintanya. Sebuah surat yang berisi harapan Husna untuk bersama ayah, ibu dan neneknya. Memang selama hampir enam tahun ini Husna mendapatkan perhatian dari ayah, ibu maupun neneknya.
Namun sebagai seorang anak, dia selalu melihat teman- teman sekolahnya yang hidup bersama keluarga utuh mereka. Ada rasa cemburu di hati Husna. Pemandangan itu selalu kutangkap di sekolah.
Sekali lagi ego dari nenek dan kedua orang tuanya telah merampas hak Husna untuk berbahagia bersama keluarganya. Aku dan ayah Husna telah lama tak hidup bersama karena tak ada restu dari nenek Husna.
Aku hanya mengalah. Selama enam tahun lebih, kubiarkan Husna hidup bersama keluarga ayahnya yang memang berada, meski hatiku hancur dan kangen tak terbendung.Â
Aku bisa merawat Husna setelah ayah Husna menikahi perempuan lain. Saat itu Husna sangat bahagia bersamaku. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kulihat Husna yang selalu memperhatikan teman- temannya yang bersama ayah ibunya ketika diantar atau dijemput sepulang sekolah.Â
Ayah Husna ---yang telah bercerai dengan isterinya--- selalu mencoba meyakinkan aku untuk kembali bersama. Usaha itu mental begitu saja ketika kuingatkan tentang nenek Husna. Aku tak mau membicarakan kebersamaan lagi dengan ayah Husna. Bagiku perhatian yang diterima Husna sudahlah cukup.Â
Akan tetapi surat Husna seolah meluluhlantakkan keyakinanku. Husna tetap ingin bersama ayah ibunya, juga neneknya.
**
Aku menunggu kedatangan ayah Husna. Aku berencana untuk memberikan surat Husna pada ayahnya. Aku ingin memintanya untuk memperjuangkan impian Husna.Â
"Kemarin- kemarin kamu menolakku. Sekarang kamu minta seperti itu. Aku tak bisa berjuang sendiri, Put..." Aku terkejut mendengar perkataan ayah Husna.Â
"Apa mas Mumtaz nggak kasihan sama Husna?"
"Lalu bagaimana denganmu sendiri, Put?"Â
Kuhela nafas panjang.
"Apa kamu benar kasihan sama Husna?" aku terdiam.
"Sudah lama kan aku mengajakmu bersama lagi tapi kamu..."
"Ibu, mas. Aku pikirkan ibu dan perasaanku..." sanggahku.
**
Mas Mumtaz menggenggam tanganku begitu memasuki teras rumah keluarganya.
"Apapun yang terjadi, aku akan bersamamu dan Husna, Put. Semoga ibu bisa menerima..."Â
Hatiku menjadi ciut. Aku merasa asing di rumah nenek Husna. Rasanya aku ingin lari sejauh mungkin tetapi tangan ayah Husna semakin erat menggenggam tanganku yang dingin.Â
Memasuki ruang keluarga, aku dikejutkan oleh suara Husna yang memanggil namaku. Entah kapan dia sampai di sini. Seharusnya dia masih berada di sekolah. Ada kegiatan mabit. Kulihat dia bercengkerama bersama neneknya. Dia membisikkan sesuatu pada neneknya lalu berdiri dan menghambur ke arahku dan ayahnya.
"Ibu... ayah... Husna seneeeng sekali melihat ibu dan ayah seperti ini..."
Aku tersadar. Tangan ayah Husna masih menggandengku. Aku segera melepaskan genggaman tangannya. Tak berhasil.Â
"Husna, ajak ibu dan ayahmu kemari..."
"Iya, nek..."
Kami mendekati nenek Husna. Aku tak berani menatap wajahnya. Bagaimanapun kisahku dulu benar- benar membuat trauma dan sakit hati. Air mata kutahan, aku tak mau terlihat lemah di depan Husna.
Ayah Husna menyalami dan mencium tangan nenek Husna. Aku berdiri terpaku, bingung harus bagaimana. Sementara Husna masih berada di sampingku.
"Maafkan Mumtaz, bu. Mumtaz minta restu untuk bersama Husna dan ibunya. Maaf bila ini menjadikan Mumtaz durhaka. Mumtaz hanya tak ingin Husna merasa sedih, seperti yang ibu lihat kalau dia di sini selama ini..." Ayah Husna bersimpuh, sungkem pada ibunya.
Nenek Husna memandangi ayah Husna. Lama beliau terdiam. Lalu pandangan beliau beralih kepadaku dan Husna. Husna memelukku. Entah apa yang dipikirkan putriku itu.Â
Nenek Husna berdiri dan menghampiriku dan Husna. Ayah Husna menyusulnya. Nenek Husna berdiri di hadapanku. Aku kikuk dan menundukkan kepalaku.Â
"Putri, jaga Mumtaz dan Husna ya, ndhuk..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H