Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gagal Bicara Empat Mata

27 September 2019   23:40 Diperbarui: 28 September 2019   00:05 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dream.co.id

Sherly, bidadari hatiku, mendekatiku. Sedari kemunculannya di tempat janjian ini, kulihat wajahnya muram. Tak seperti biasa kulihat.

Setelah berada di hadapanku dia menyalamiku. Tanpa cium punggung tanganku. Itu belum boleh dia lakukan. Dia belum sah menjadi pendamping hidupku. 

Dia mengambil posisi duduk di samping kiriku. Dia menghela nafas panjang. Seolah mau melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya. Kubiarkan dia menyusun ungkapan hatinya.

"Mas, aku bingung..."

Sherly memulai pembicaraan. Tangannya masih memegang HP. Lalu diletakkannya di meja depan kami.

"Bingung kenapa, coba kamu cerita. Aku pasti mendengarmu..."

Sesaat kulihat dia masih bingung untuk mengungkapkan perasaan galaunya. Minuman susu jahe yang sudah kupesan sebelumnya sudah diantar ke meja kami.

"Diminum dulu, Sher. Biar anget. Kan di sini dingin. Aku belum boleh memelukmu..."

Aku mencoba mencairkan suasana hati pujaan hatiku itu. Aku ingin melihat senyum manisnya yang selalu terbayang dan terbawa di alam mimpiku. 

"Mas Gesang ini bisa saja..."

Senyum Sherly terkembang. Aku tersenyum. Dadaku bergetar tiap kali melihat senyumannya. Aku terpesona pada keanggunannya. Wajah tanpa polesan make up itu benar- benar membuatnya berbeda dengan temannya, termasuk Nita.

Setiap kugoda agar dia sedikit berdandan, dia tak merespon dengan baik.

"Nanti aku bisa tergoda sama perempuan yang bisa dandan lho, Sher..."

Sherly memicingkan kedua matanya sebentar.

  

"Kalau mas Gesang tak suka aku seperti ini, ya mas cari perempuan lain saja. Banyak kok perempuan yang pandai berdandan..."

Aku benar- benar tak menyangka kalau dia akan menanggapi seperti itu.

"Aku biar nunggu lelaki yang menerimaku apa adanya..."

Akhirnya aku kapok menggodanya. Kalau aku kehilangan dia, bisa kiamat menderaku.

"Mas..."

Suara Sherly membuyarkan lamunanku ketika mengingat aku menggodainya. 

"Iya, Sherly sayang. Aku siap mendengarmu..."

Sherly tersipu sesaat, lalu menganggukkan kepalanya.  Aku memang jarang memanggilnya sayang. 

"Aku..."

Sherly memulai curhatnya.

"Eh, pak instruktur di sini juga..."

Tiba- tiba ada suara lelaki yang menyapaku. Aku mencoba mengingatnya. Tapi aku tak bisa mengingatnya. Entah siapa bapak- bapak yang menyapaku itu.

"Saya peserta diklat, pak. Kelas SD 05..."

Bapak- bapak itu menyalamiku dan Sherly.

"Mbaknya ini juga peserta diklat ya?" tanya bapak- bapak itu ketika berjabat tangan dengan Sherly. Shery mengangguk.

"Wah... kebetulan. Saya bisa sedikit berdiskusi dengan pak instruktur dan mbaknya..."

Sesaat aku dan Sherly saling berpandangan. 

"Oh...iya, pak. Monggo. Kebetulan saya juga berdiskusi dengan pak Gesang. Ada beberapa materi yang kurang saya pahami..."

Aku memandang wajah Sherly. Memastikan ucapannya barusan. Akhirnya kami bertiga bertukar pikiran malam ini. 

Merasa belum akan berakhir diskusi kami, Sherly minta pamit.

"Saya permisi nggih, bapak- bapak. Sudah larut malam..." Sherly beranjak dari kursinya.

Bapak- bapak yang ikut berbincang malam ini juga ketularan. Ikut pamit juga. Dia menyalamiku. Lain halnya dengan Sherly. Dia berlalu begitu saja. Dia sudah menjauhiku.

"Ah...kenapa dengannya..." gumamku. 

Aku semakin bingung. Tiba- tiba aku memiliki ide untuk bicara lagi dengan Sherly, meski hanya sebentar.

"Mbak Sherly..." aku memanggil namanya. Sherly berhenti dan menoleh ke arahku. Bapak- bapak yang sedari tadi berbincang dengan kami dan menuju hotel bersama Sherly pun menghentikan langkahnya.  

"Iya, pak..."

"Sebentar..."

Kuraih jaketku di sandaran kursiku. Aku berjalan menuju tempat Sherly berdiri.

"Ini tertinggal..."

Kuserahkan jaketku. Sherly tampak bingung. Apalagi bapak- bapak itu belum juga beranjak meninggalkan kami.

"Mbak ini tahu di sini dingin kok lepas jaket tadi..."

Sherly dengan ragu menerima jaket itu. 

"Terimakasih, pak..."

Sherly membalikkan badannya. Tak juga tangannya menjabat tanganku seperti tadi.

"Tunggu!"

Sherly membalikkan badannya lagi.

"Kok nggak dipakai..."

"Iya, mbak. Dipakai. Dingin. Nanti bisa masuk angin lho..."

Bapak- bapak itu menyela obrolan kami. Mau tak mau Sherly mengenakan jaketku. 

"Pak instruktur juga nggak jaketan..." komentar bapak- bapak itu begitu menyadari aku tak berjaket.

" Iya, pak. Ada di parkiran..." jawabku sekenanya.

"Ya sudah. Kami pamit, pak. Pak instruktur hati- hati di jalan..."

Kuanggukan kepalaku. 

"Terimakasih, pak..." aku menyalami bapak- bapak itu untuk kedua kalinya. Kulakukan hal yang sama pada Sherly.

Mereka berdua berjalan menuju hotel, tempat diklat mereka. Biar Sherly dikawal bapak- bapak itu. Aku sendiri segera pulang, meski harus menahan dingin selama perjalanan.

Biarlah. Biar jaketku menghangatkan Sherly yang masih belum mengungkapkan isi hatinya. Ya...seharusya tadi kami bicara empat mata ---dengan harapan kegalauan Sherly bisa hilang---, tetapi gagal. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun