Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Kami

25 September 2019   08:45 Diperbarui: 29 September 2019   05:19 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: beritagar.com

Apa yang kami nanti dan rindukan adalah hujan. Bukan sekadar hujan yang disukai para perindu karena membuat mereka terkenang pada masa lalu. Entah bersama mantan atau kenangan bersama mantan terindah yang saat ini sudah menjadi istri atau suami.

Rindu kami pada hujan karena kepungan asap pekat yang sudah terjadi beberapa minggu ini. Sungguh kami tersiksa dengan pekatnya asap yang menyesakkan dada. Seakan dada mau meledak, mata perih. Nyaris tak ada oksigen yang bisa kami hirup.

Para pelajar yang seharusnya menuntut ilmu harus diliburkan akibat asap yang tak kunjung hilang. Jika dalam kondisi normal mungkin para pelajar akan bahagia jika sekolah diliburkan. Lepas dari rasa lelah karena sekolah full sampai sore hari.

Libur di antara musibah ---kami tak menyebutnya azab--- karena kami tak merasa merusak alam, tak membahagiakan para pelajar. Jika diminta memilih pasti kami ingin udara segar yang menyehatkan serta belajar demi kemajuan bangsa dan negara.

Hujan. Di sini biasanya terjadi setiap minggu. Namun karena kebakaran hutan dan lahan, hujan tak kunjung menghampiri daerah kami. 

Yang lebih menyesakkan, di antara derita kami, ada yang mengatakan bahwa kamilah yang membakar hutan atau lahan di daerah kami. Fitnah terasa menyakitkan. Sementara ada petinggi yang mengatakan bahwa kebakaran di daerah kami tak separah yang ada dalam berita.

Akibatnya kami dinilai menyebarkan kabar bohong atau hoax. Kami dinilai lebay. Padahal, demi Allah, kami mengatakan hal yang sebenarnya kami rasakan setiap hari.

Mungkin ada yang tak mempercayai kami atau berita tentang karhutla. Jika tak percaya, sudahlah, lebih baik diam. Jangan sakiti kami dengan fitnahan. Jika tak tahu tentang daerah kami, datang dan tinggallah beberapa saat di gubuk kami.

Jangan katakan bahwa ucapan petinggi lebih bisa dipercaya. Kami setiap bangun tidur selalu berharap di luar rumah turun kabut segar yang menyejukkan. Namun itu mimpi bagi kami. Kami kecewa.

Di tanah seberang yang mempercayai kami banyak, namun yang tak mempercayai kami lebih banyak. Ya.. Kami paham jika mereka kurang piknik, kurang membaca berita. Kalaupun membaca berita, mungkin masih dikaitkan dengan pilpres yang sudah tidak kami pikirkan lagi.

Kami hanya ingin orang- orang peduli dengan kami. Jika tak mampu membantu secara langsung, kami minta didoakan. Kami minta perhatian, simpati dan empati saja. 

Hujan... sudah lama tak menyirami tanah kami yang kini sudah banyak yang membara. Bahkan perputaran atau siklus terbentuknya hujan pun terganggu.

Para petinggi dan para sahabat kami yang tak paham sering menjelaskan bahwa petinggi sudah mengupayakan hujan buatan. Namun upaya itu tak berhasil jika situasi tak mendukung dan Allah tak menghendakinya.

**

"Dik, kamu pulang ke Jawa dulu. Biar kandungan dan junior kita sehat..." usul suamiku.

Aku merasa berat hati. Masa- masa kehamilanku yang pertama diuji dengan kabut asap pekat. Suamiku berminggu- minggu ikut berjibaku memadamkan karhutla.

Pulang tak tentu. Demi udara bersih di daerah kami. Meski hasil perjuangan suami dan para relawan yang membantu pemadaman kebakaran kurang maksimal, namun aku bangga padanya.

Aku akan setia menunggunya di rumah kami. Namun karena kabut asap tak kunjung hilang, sementara aku dalam keadaan berbadan dua, aku terpaksa menuruti usul suamiku.

**

Mendekati HPL buah hati kami lahir, suami yang masih berada di daerah karhutla mengirimkan kabar bahwa daerah kami sudah turun hujan. Air mata bahagia membasahi pipiku. Suami dan relawan serta BPBD terbantu oleh hujan.

Ya...hal yang kami rindukan di tanah karhutla tiba. Semoga Allah melimpahkan hujan yang berkah.

**

Pagi ini perutku kencang- kencang. Kupikir waktu lahirnya buah hati kami segera tiba. Aku masih melakukan aktivitas memasak, mencuci dan menyapu di rumah ibu, di Jawa.

Sampai akhirnya aku tak kuat lagi karena kontraksi yang terus terjadi. Ibu dan kakakku segera membawaku ke bidan terdekat.

Aku berjuang untuk melahirkan buah hati kami. Suami belum tiba di Jawa. Dia dalam perjalanan. 

**

Suara tangis bayi memecah heningnya malam. Alhamdulillah, bayi kami sehat. Perempuan. 

Simbah kakunglah yang mengadzani bayiku. Setelah aku ditangani bidan dan sudah baikan, aku menelepon suamiku.

Hanya nada sambung yang kudengar. Berulang kali ku telepon. Suamiku tak juga mengangkat teleponku.

Sampai akhirnya telepon dari suamiku masuk. Buru- buru kuangkat telepon itu.

"Alhamdulillah, nak. Kamu sudah melahirkan. Ibu bahagia..."

Ibu mertua yang menghubungiku. Aku menceritakan bagaimana proses melahirkan. Pengalaman yang luar biasa. Di mana aku mempertaruhkan nyawa demi lahirnya buah hatiku. Aku bisa merasakan bagaimana ibu atau perempuan lain ketika melahirkan.

"Mas Aji ada, bu?"

Ibu mertuaku tercekat sesaat.

" Aji sekarang ada..."

"Saya mau bicara dengannya, bu..."

"Dia..."

"Kenapa dengannya, bu...?"

"Dia dirawat di Rumah Sakit, ndhuk..."

Aku terpukul mendengar kabar dari ibu mertuaku. Aku menangis. Di saat suamiku sakit, aku tak menemaninya. Berjuang memadamkan api karhutla sudah pasti melelahkan dan menghirup racun dari asap itu meski mengenakan masker.

"Sudahlah, nak. Nggak apa- apa. Dua tiga hari lagi dia pulang. Pasti dia akan menyusulmu ke Jawa bersama ibu..."

Ibu menghiburku yang masih menangis. 

"Kamu jaga diri dan anakmu baik- baik. Kami segera ke sana..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun