Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ingin Lupakan Sakit itu

13 September 2019   21:55 Diperbarui: 13 September 2019   21:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah Husna sudah bersama Husna di teras. Mereka bercengkerama seperti biasa. Melepas kangen antara ayah dan putrinya. Aku sendiri lebih memilih untuk berada di kamar. Aku tak mau menemui ayah Husna.

Aku kembali mengingat kejadian demi kejadian pada hubunganku dengan ayah Husna dan keluarganya, juga dengan Husna. Ada rasa lelah untuk memahaminya meski aku sudah menerima kenyataan pahit.

Semenjak Husna menuliskan surat untuk neneknya, memang Husna menjadi sedikit berbeda. Aku hanya menduga kalau surat itu sudah disampaikan kepada sang nenek. Lalu nenek Husna tak menyukainya. Atau bahkan marah.

Surat itu ---yang ditulis Husna ketika masih sekitar kelas 2 SD--- berisi permintaan kepada neneknya agar dia bisa serumah dengan mereka, ayahnya dan ibunya.

Kuingat, dulu setelah surat itu tak lagi kulihat di meja belajar Husna, Husna terlihat sedih sepulang dari rumah nenek. Waktu itu ayah Husna juga tak memberikan keterangan apapun.

Seolah mereka berdua sepakat merahasiakan sesuatu dan mungkin juga merencanakan sesuatu. Aku pernah mengorek keterangan pada Husna. Dia kebingungan menjawabnya. 

Kubiarkan Husna berpikir tenang dulu. Berharap dia mau menceritakan yang dialaminya di rumah nenek. Namun sampai saat ini ---Husna di kelas 6--- tak ada informasi apapun. Ayah Husna pun seolah mau mengikis sikap aneh Husna dengan sering mengunjunginya. 

Jika sebelumnya hanya sekali sampai tiga kali seminggu. Kini hampir setiap hari Husna diperhatikannya. 

***

"Ibu, kenapa tadi nggak ikut kami...?"

Husna menanyakan alasanku, mengapa tak ikut refreshing. 

"Nggak kenapa- kenapa, Husna. Ibu cuma capek saja..." terangku.

"Kalau kamu capek, aku pijiti ya, Bu Mumtaz..."

Tiba- tiba ayah Husna sudah berada di samping kami. Dia tersenyum. Aku tak tahu sejak kapan ayah Husna di antara kami. Biasanya dia berada di teras.

Tanpa menunggu jawabanku, tangan ayah Husna memijit bahuku. Aku berusaha menepis dan menolak. 

"Husna sayang, ibu capek. Jangan ganggu dulu ya..." ayah Husna menasehati Husna.

"Tapi yah..."

Ayah Husna memberikan tanda agar Husna tak protes lagi. Terpaksa Husna menuruti nasehat ayahnya.

"Iyalah. Aku tidur aja..."

***

"Husna membutuhkan kita, Put..."

Ayah Husna membuka pembicaraan setelah Husna tak berada di antara kami berdua. Tanpa dikatakannya pun aku juga tahu dan sangat paham kalau Husna membutuhkan ayah ibunya. Karenanya Husna kuberi kebebasan untuk bertemu ayah dan termasuk neneknya.

"Kok cuma diam, Put..."

Aku mengedikkan bahu. Tanpa berkomentar apapun. Kalau berkomentar, pasti aku akan mengungkit masa lalu di mana aku dan Husna dipisahkan tanpa belas kasih. Ayahnya juga tak memperjuangkan keluarga kecilnya.

"Bicaralah, Put. Dari tadi kamu tak bicara..."

Aku memandang sekilas ayah Husna. Kualihkan lagi pandanganku pada layar HPku. 

"Semua yang mas katakan benar..."

"Lalu...?"

"Kita berikan perhatian untuk Husna semampu kita. Kukira itu sudah cukup..."

Ayah Husna mengubah posisi duduknya. Dia duduk di sampingku.

"Husna ingin bersama ibu dan ayahnya, Put..."

Akhirnya kudengar ucapan itu keluar dari mulut ayah Husna. 

"Semua sudah terlanjur seperti ini, mas. Sudah sejak Husna masih bayi. Mas pasti masih ingat itu. Aku ingin melupakannya. Aku juga ingin melupakan rasa sakitku ketika kehilangan bayi cantikku, hanya demi ego nenek, kakek, dan ayahnya yang tak berdaya..."

Suaraku parau, hatiku bergemuruh mengingat kejadian berpuluh tahun yang lalu. Ya...sekalipun aku memaafkan ayah Husna dan keluarganya, sakit hatiku tak bisa hilang begitu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun