Setelah mampir makan, dalam perjalanan mengantar pulang Sherly, barulah si cantik itu bicara padaku. Pada dasarnya dia tak suka kalau aku terlalu memujinya. Sungguh, dia adalah perempuan unik. Di saat perempuan lain senang dipuji setinggi langit, tak begitu dengan Sherly.
"Tak usah memuji berlebihan. Siapa tahu nanti ada sesuatu dariku yang akhirnya membuatmu benci. Tapi mas juga jangan terlalu benci aku..."
Sherly tak melanjutkan ucapannya. Aku masih menunggu lanjutannya. Tapi tak keluar juga dari bibir indahnya.
"Kenapa, Sher? Kalau aku terlalu benci, emangnya kenapa...?"
Sherly masih terdiam. Mungkin dia sengaja tak mau menjelaskan padaku. Ah...kugoda saja Sherly. Di saat pembicaraan serius kan tak ada salahnya kalau diselingi candaan.
"Di balik rasa benci itu ada sengit kan, Sher? Seneng Selangit..."
Aku tertawa. Merah pipi Sherly karena ucapanku tadi. Ah...tanpa blush on pun pipinya sudah merah. Mungkin aku bisa panggil dia dengan sebutan si pipi merah. Humaira, dalam bahasa Arabnya.
Sherly protes berat. Soalnya Humaira itu nama tetangganya, yang dari cerita Sherly sih orangnya cantik.
"Kamu cemburu ya...?"
"Bukan! Cuma nggak suka saja..."
Kulihat sekilas wajah Sherly tampak cemberut. Entah ada rahasia apa lagi yang belum diceritakannya padaku. Pertama tentang lamaran Andro dulu. Kedua tentang Yumna.
Biarlah. Masalah Andro juga tak terlalu penting saat ini. Dia sudah bahagia dengan Nita. Aku juga tak perlu mempermasalahkan lagi. Daripada Sherly kesal padaku.
"Mas, aku cerita sesuatu ya. Tapi mas janji nggak marah atau ngetawain aku..."
Kuberikan isyarat kalau aku siap mendengarkan ceritanya.Â
"Aku cerita ini biar nanti mas tak menganggapku tak terbuka..."
Sherly mulai membuka ceritanya. Ceritanya pas seperti yang diceritakan Nita padaku tempo hari. Tentang Andro dan perasaannya dulu. Juga tentang lamarannya setelah Andro mendudua. Ada cerita tentang aku yang malasnya hampir tak ketulungan.
Aku hanya diam. Menyimak cerita Sherly.Â
"Mas, kok diem. Mas marah ya...?"
Aku melirik ke arah Sherly. Sherly terlihat serba salah. Bingung. Mungkin dia menyesal karena menceritakan hal itu padaku.Â
"Tuh kan. Mas malah marah. Tahu gitu, aku mending simpan sendiri saja cerita itu..."
Aku masih menanggapi gerutuan Sherly. Aku masih ingin melihat bagaimana kalau aku "marah". Kalau dia bingung dengan aksi "marah"ku, artinya dia memang benar takut kehilangan aku.
"Ya udah. Kalau mas marah dan tak suka dengan ceritaku tadi, mas boleh cari perempuan lain untuk mendampingi mas..."
Sherly menyerah ketika aku hanya diam. Matanya melihat ke arah samping kiri jalan. Kudengar isakannya. Ujung jilbabnya digunakannya untuk menghapus air matanya. Aku jadi tak tega mendengarnya.Â
"Kamu kenapa, Sher...?"
Sherly tak menjawab pertanyaanku. Aku coba menghapus air matanya tapi dia mengelak.Â
Mau tak mau aku menepikan mobil di jalan yang tak begitu ramai. Kutatap Sherly yang tak mau melihatku. Kusentuh tangannya pun tak mau.
Aku bingung sendiri. Aku telah membuatnya menangis. Rasanya meluluhkan hatinya saat ini menjadi lebih sulit daripada dulu ketika aku pertama kali bertemu lagi di kampus. Dulu mengajaknya untuk serius menjalin hubungan tak terlalu sulit. Namun kini... ahhh...aku bodoh sekali...
"Sher. Dengarkan aku..."
Aku mencoba bicara dengannya. Kuambil tissue dan kuhapus air mata Sherly meski dia sempat menolaknya.
"Sher, kamu tahu? Kamu perempuan yang sejak awal kuliah selalu kuimpikan. Memenangkan hatimu sungguh sebuah anugerah terindah. Kalau kamu punya kisah seperti itu, akuu tak masalah. Yang penting adalah hatimu saat ini. Hatimu terisi namaku selain orangtuamu, itu sudah cukup bagiku..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H