"Ya udah. Kalau mas marah dan tak suka dengan ceritaku tadi, mas boleh cari perempuan lain untuk mendampingi mas..."
Sherly menyerah ketika aku hanya diam. Matanya melihat ke arah samping kiri jalan. Kudengar isakannya. Ujung jilbabnya digunakannya untuk menghapus air matanya. Aku jadi tak tega mendengarnya.Â
"Kamu kenapa, Sher...?"
Sherly tak menjawab pertanyaanku. Aku coba menghapus air matanya tapi dia mengelak.Â
Mau tak mau aku menepikan mobil di jalan yang tak begitu ramai. Kutatap Sherly yang tak mau melihatku. Kusentuh tangannya pun tak mau.
Aku bingung sendiri. Aku telah membuatnya menangis. Rasanya meluluhkan hatinya saat ini menjadi lebih sulit daripada dulu ketika aku pertama kali bertemu lagi di kampus. Dulu mengajaknya untuk serius menjalin hubungan tak terlalu sulit. Namun kini... ahhh...aku bodoh sekali...
"Sher. Dengarkan aku..."
Aku mencoba bicara dengannya. Kuambil tissue dan kuhapus air mata Sherly meski dia sempat menolaknya.
"Sher, kamu tahu? Kamu perempuan yang sejak awal kuliah selalu kuimpikan. Memenangkan hatimu sungguh sebuah anugerah terindah. Kalau kamu punya kisah seperti itu, akuu tak masalah. Yang penting adalah hatimu saat ini. Hatimu terisi namaku selain orangtuamu, itu sudah cukup bagiku..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H