Ayah Husna mengirimkan pesan itu malam ini. Bukannya bahagia namun malah membuatku semakin tak menentu. Husna ke rumah neneknya tiap Sabtu, itu sudah biasa. Namun aku, jadi apa aku di sana?
Orangtua mas Mumtaz akan menatapku sinis seperti dulu. Intan pasti juga takkan menyukaiku. Kalau sudah begitu, bukankah hanya membuat aku dan Husna tak nyaman?
"Helloooo....Put! Kok nggak bales?"
Aku masih ragu untuk membalas pesan ayah Husna itu. Tapi ayah Husna sudah mempertanyakan jawabanku.Â
Kusorot chat pertama ayah Husna. Kuketikkan pelan jawabanku.
"Husna saja yang mas jemput ya..."
Kukirimkan balasan pesan itu. Lalu buru- buru HP aku non-aktifkan. Ayah Husna pasti akan bertanya atas jawabanku tadi. Aku tak mau berdebat dengannya karena aku tak siap dan tak ingin merusak suasana malam minggu Husna dan keluarga neneknya.
*
Seperti yang kuduga, kalau aku tak membalas pesannya ---pesan semalam kusebut undangan malam Minggu--- pasti ayah Husna menemuiku pagi harinya. Dia berangkat ke kantor lebih awal dan menungguku di sekolah.
Kecuali pagi ini. Ayah Husna tak menungguku di sekolah. Dia ke rumah, ketika aku dan Husna tengah bersiap sarapan. Suara bel rumah mengejutkan kami. Tak seperti biasa pagi- pagi sudah ada yang bertamu.
Karena aku baru menyiapkan sarapan, Husna-lah yang membukakan pintu. Dari ruang makan kudengar lirih suara Husna menyebut- nyebut "ayah". Untuk memastikan, aku bertanya ke Husna dari ruang makan. Kiranya Husna mendengar pertanyaanku.