Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bu Mumtaz

7 Juli 2019   05:34 Diperbarui: 7 Juli 2019   05:57 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pict: Klickberita.com

Kujauhi Irawan demi Husnaku. Aku trauma kalau Husna menghilang lagi. Meski kemarin sebenarnya dia tak menghilang. Dia mengantar seorang nenek tapi karena belum begitu hafal jalan, akhirnya dia tersesat sendiri. 

Yang jelas, aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Aku tak akan berpikir siapapun, kecuali putriku itu. Apalagi aku menyadari bahwa aku berpisah dengan ayah Husna bukan perpisahan resmi, bukan cerai resmi. 

Iya. Aku seperti digantung, tak diberi kepastian janda atau bukan. Aku tak ambil pusing lagi. Toh ayah Husna juga sudah berkeluarga lagi, setelah sekian tahun meninggalkan aku. 

**

Hari Rabu pagi di sekolah. 

"Siapa laki-laki yang bersamamu kemarin, Put...?"

Ayah Husna langsung menanyaiku begitu melihatku sedang piket pagi. Entah dari mana dia mengetahui aku bertemu siapa. Ah...aku tak ambil pusing. 

Tapi...tunggu sebentar. Senin kemarin aku ditemui laki-laki yang mengaku ingin bertemu kekasih dan anaknya yang sekarang dinikahi ayah Husna. Dari cerita laki-laki itu, anak yang dibesarkan ayah Husna dan ibu barunya adalah anaknya. Jadi, bukan adik Husna. 

Laki-laki itu meminta tolong padaku untuk mempertemukannya dengan kekasih dan anaknya. Aku tak mengiyakan keinginan orang itu. 

*

"Bisa panggil saya dengan sebutan lain, pak?"

Aku kesal dengan ayah Husna. Sudah sering kubilang agar tak memanggilku Putri ketika di sekolah. Kuminta dia memanggilku "bu guru" seperti yang dilakukan orangtua siswa lainnya.

"Okelah. Kupanggil kau Bu Mumtaz saja..."

Aku membelalakkan mataku demi mendengar ucapan ayah Husna tadi. Kalau tak berada di sekolah, sudah pasti kubuat perhitungan. Ayah Husna tertawa lepas. 

Iya, ayah Husna bernama Mumtaz. Aku tak mau mengingat dan menggunakan nama itu memanggil ayah Husna. Seakan nama itu kucoret dari daftar nama yang harus kuingat. 

Meski setelah cerita laki-laki yang menemuiku kemarin, aku merasa lega. Tak tahulah. Mungkin memang masih ada sisa cinta untuknya. Bagaimanapun dia pernah mengisi hari- hariku selama setahun. Namun kuingat lagi, bahwa nenek dan kakek Husna tak mungkin menerimaku. Sudahlah...aku sudah bahagia dengan Husnaku.

"Sudahlah, pak. Silakan kalau mau berangkat kerja..."

Lagi-lagi ayah Husna tertawa. Aku semakin kesal dan keki. Sementara guru lain dan orangtua siswa lain sudah mulai berlalu lalang mengantar putra-putrinya ke sekolah. Ada beberapa orangtua yang memperhatikan gerak- gerik kami.

"Oke. Bu Mumtaz. Aku pamit dulu ya. Nanti siang kita ketemu lagi. Bu Mumtaz harus menjawab pertanyaanku tadi..."

***

"Maaf aku jemput anak terakhir ya, bu Mumtaz..."

Ayah Husna terlambat menjemput Husna hari ini. Khusus hari ini saja. Dia berjanji mengajak Husna membeli perlengkapan outbond untuk hari Sabtu besok. Hanya hari Rabu ini dia punya waktu. Sebenarnya aku bisa saja mengantar dan membelikan perlengkapan itu. Tetapi Husna ngotot, ingin diantar ayahnya. 

Husna yang sudah menunggu sedari tadi menunggu sang ayah, segera menghampiri ayahnya dengan berlari. Rajukan manja Husna keluar. 

"Husna, kamu tak mengajak ibumu ikut juga?"

Ayah Husna menanyai Husna. Dan bisa ditebak, akibat pertanyaan itu Husna merengek, memintaku ikut serta. Aku berusaha menolak keinginan Husna. Namun aku harus menyerah. Terpaksa motor kutinggal di sekolah. 

"Besok pagi kujemput dan kuantar kalian ke sekolah, Bu Mumtaz. Tak usah khawatir..."

Husna yang menyimak percakapanku dan ayahnya merasa heran dengan panggilan untukku itu. 

"Ayah, ibuku namanya Putri. Ya dipanggil Bu Putri dong, yah..."

Ayah Husna tersenyum. 

"Husna, ibumu tak mau dipanggil Bu Putri. Jadi dipanggil Bu Mumtaz saja. Sama dengan nama ayah. Setuju kan?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun