Aku kesal dengan ayah Husna. Sudah sering kubilang agar tak memanggilku Putri ketika di sekolah. Kuminta dia memanggilku "bu guru" seperti yang dilakukan orangtua siswa lainnya.
"Okelah. Kupanggil kau Bu Mumtaz saja..."
Aku membelalakkan mataku demi mendengar ucapan ayah Husna tadi. Kalau tak berada di sekolah, sudah pasti kubuat perhitungan. Ayah Husna tertawa lepas.Â
Iya, ayah Husna bernama Mumtaz. Aku tak mau mengingat dan menggunakan nama itu memanggil ayah Husna. Seakan nama itu kucoret dari daftar nama yang harus kuingat.Â
Meski setelah cerita laki-laki yang menemuiku kemarin, aku merasa lega. Tak tahulah. Mungkin memang masih ada sisa cinta untuknya. Bagaimanapun dia pernah mengisi hari- hariku selama setahun. Namun kuingat lagi, bahwa nenek dan kakek Husna tak mungkin menerimaku. Sudahlah...aku sudah bahagia dengan Husnaku.
"Sudahlah, pak. Silakan kalau mau berangkat kerja..."
Lagi-lagi ayah Husna tertawa. Aku semakin kesal dan keki. Sementara guru lain dan orangtua siswa lain sudah mulai berlalu lalang mengantar putra-putrinya ke sekolah. Ada beberapa orangtua yang memperhatikan gerak- gerik kami.
"Oke. Bu Mumtaz. Aku pamit dulu ya. Nanti siang kita ketemu lagi. Bu Mumtaz harus menjawab pertanyaanku tadi..."
***
"Maaf aku jemput anak terakhir ya, bu Mumtaz..."
Ayah Husna terlambat menjemput Husna hari ini. Khusus hari ini saja. Dia berjanji mengajak Husna membeli perlengkapan outbond untuk hari Sabtu besok. Hanya hari Rabu ini dia punya waktu. Sebenarnya aku bisa saja mengantar dan membelikan perlengkapan itu. Tetapi Husna ngotot, ingin diantar ayahnya.Â