Aku merasa putus asa. Mencari putriku yang menghilang, malam hari seperti ini. Sedih, kacau, pilu. Rasanya dunia menjadi gelap.Â
Tak kupedulikan hawa dingin merasuki pori-pori kulit. Yang kupikirkan hanya Husna, Husna dan Husna.Â
Aku saat ini berada di tempat yang diimpikan Husna untuk bersenang-senang bersamaku, juga ayahnya. Jauh hari sebelum menghilang, dia mengutarakan keinginannya untuk pergi bersama ayah ibunya ke tempat ini. Dia ingin merasakan kasih sayang yang utuh dari orangtuanya.Â
Aku selalu menolak keinginannya dengan halus. Dia marah dengan penolakanku itu. Akhirnya karena melihatnya ngambek ---apalagi dengan kedekatan dengan rekanku--- aku mengamini keinginannya. Hanya saja aku belum menjanjikan kapan akan terlaksana. Dan belum sampai keinginan Husna terwujud, dia menghilang dari sisiku.
*
Kulihat Husna bermain pasir putih dan mandi di pantai bersama ayahnya. Gelak tawanya begitu hangat. Tanpa tersadar aku tersenyum. Lupa akan rasa sakit akibat perpisahanku dengan ayah Husna.Â
Di tengah canda tawa mereka, terlihat ayah Husna membisikkan sesuatu ke telinga Husna. Husna mengangguk dan mengangkat tangannya untuk toss dengan ayahnya.Â
Husna menghampiriku. Diraihnya tanganku. Diajaknya aku ke tepi pantai. Husna mengajakku bercanda dengannya dan ayahnya. Ada rasa canggung berada di antara anakku dan ayahnya. Namun demi Husna, kulawan rasa canggung itu.Â
*
"Sudahlah, Put. Kita pulang dulu. Besok kita cari lagi anak kita..."
Ayah Husna menyadarkan lamunanku. Ya... aku melamunkan sebuah impian Husna. Namun semua tinggal kenangan. Aku benar-benar putus asa.Â