Kehilangan Husna saat ini melebihi rasa kehilangannya ketika Husna dibawa ayah dan kakek neneknya delapan tahun yang lalu.Â
Kugelengkan kepalaku. Aku ingin sendiri. Meratapi putriku yang entah berada di mana.Â
"Pulanglah, mas. Anak istrimu sudah menunggumu..."
Ayah Husnaku mengurungkan niatnya demi melihatku meratapi Husna. Tak kupedulikan tatapan yang dulu selalu kurindukan. Aku tak ingin terhanyut pada kenangan dulu saat kumasih berbahagia bersamanya, di tengah perasaanku yang tak tentu karena mertua tak menyukaiku. Dulu dia selalu membesarkan hatiku. Namun akhirnya dia menyerah juga dengan keadaan.Â
Aku hanya ingin bersama Husnaku. Aku bertekad, aku akan turuti kemauan anakku. Hidup bersamanya lebih kupilih daripada memikirkan egoku.Â
*
Ayah Husna menerima telepon dari rekanku karena aku tak peduli dengan HP yang berbunyi terus-terusan. Dia menjauhiku. Aku tak peduli dengan pembicaraan dua laki-laki itu.Â
Aku masih merenungi dan menyesali diriku yang tak segera mencari Husna tadi sore. Debur pantai malam ini membuat aku semakin tak karuan memikirkan putriku. Kuharap dia selalu dilindungiNya dan segera kutemukan.Â
*
"Kita pulang ya, Put. Kamu harus istirahat. Jangan sampai sakit.. "
Aku tak peduli ucapan ayah Husna. Aku hanya menatapnya kosong. Ayah Husna tersenyum. Tangannya menghapus air mata yang masih mengalir di pipiku.Â