Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Menghilang

3 Juli 2019   07:13 Diperbarui: 3 Juli 2019   07:23 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu memikirkan rekan kerja baru di kantor. Sosok laki-laki, perjaka, namun sering memberikan perhatian kepadaku. Perhatian- perhatian itu mau tak mau meluluhlantakkan dinding pertahanan hatiku. 

Tak dipedulikannya aku yang telah memiliki putri, buah hati dari pernikahan yang kandas karena perbedaan status dan restu yang tak diberikan. Baginya, perempuan sepertiku patut mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang yang benar-benar tulus dan mau memperjuangkanku. 

Laki-laki itu berusaha mendekati Husna, putriku. Sebagai anak yang terus memimpikan ibu dan ayahnya bersatu lagi, tentu dia sangat tak menyukai. Protes demi protes dilontarkan. Menangis, marah, ngambek sudah dia tunjukkan. 

Aku yang mulai terbuai dengan kata-kata rekan kerjaku, dengan sabar memberikan pengertian kepada Husna. Tak ada hasilnya. Bahkan saat ini aku kehilangan Husna. Putri cantikku itu menghilang. 

Sampai malam hari ini dia tak tiba di rumah setelah bermain ke rumah temannya. Biasanya dia langsung pulang. Ketika azan Maghrib berkumandang dia sudah bersiap ke masjid. Nyatanya saat ini, pukul 20.37, dia tak kunjung tiba di rumah. 

Aku menduga dia ke rumah ayah dan ibu barunya. Beberapa hari dia minta diantar ke sana. Dia kangen ayahnya. Memang ayahnya lama tak mengunjunginya di rumah. Mungkin karena kesibukannya. Aku sendiri tak mempedulikan alasannya. 

Barulah aku mulai risau ketika waktu Isya, Husna belum tiba juga. Aku mencoba berpikir positif, mungkin dia mau menginap di rumah ayahnya. 

Namun ketika suara HP Husna berbunyi, barulah aku tersadar bahwa dia tak berada di rumah ayahnya. Berawal dari ayahnya yang menelepon setelah Isya. Semula aku tak mau mengangkat telepon dari ayahnya. Karena berbunyi terus, terpaksa aku menerima telepon itu. 

Ayahnya menanyakan kenapa Husna belum aku antar. Aku balik bertanya, apa ayahnya tak menjemput putriku di rumah temannya. Meledaklah kemarahan ayah Husna. Aku dibilang tak bisa mengurusi anak, hanya memikirkan diri sendiri,  dan masih banyak lagi ucapan yang menyudutkanku. 

Sungguh aku tak pernah dimarahi olehnya. Aku yang shock dengan perginya Husna yang ternyata tak bersama ayahnya, mendapatkan perkataan buruk juga. Kuhubungi orangtua teman Husna, mereka bilang kalau Husna sudah pulang pukul 17an. 

Mungkin yang dikatakan ayah Husna ada benarnya. Aku egois, tak peduli perasaan Husna. Namun aku juga merasa ayahnya egois juga. Buktinya dia meninggalkanku seorang diri, tanpa menanyakan keadaanku, demi orangtuanya. Dia tak tahu bahwa dia telah menghancurkan aku dan anakku. Ya... perpisahan dengan suami tanpa surat cerai. 

*

Saat ini aku menunggu ayah Husna. Dia dalam perjalanan ke sini. Aku begitu kacau. Dering telepon dari HPku tak kupedulikan lagi. Berkali-kali rekan kerjaku menelepon dan mengirimkan pesan, semua tak kuhiraukan. Kubayangkan Husna berada di tempat yang mengerikan, diculik dan disiksa. Astagfirullah. 

Selama ini aku telah membuatnya merasa kesal. Iya. Aku egois. Aku mengharap Husna bisa menerima pendapat dan kondisiku yang merasa begitu kesepian. Sementara jalan pikiran Husna tak aku gubris.

*

"Kamu itu ibu yang bagaimana, Put. Husna belum sampai rumah Maghrib tadi kok tak mencari. Tak bertanya ke temannya. Tak meneleponku. Kau ini..."

Suara ayah Husna langsung mencecar dengan suara tinggi begitu melihatku di teras rumah. Aku hanya mendengarkan dengan perasaan teriris. Dia terus menyalahkan, menyalahkan dan menyalahkan. 

"Kalau Husna tak suka dengan laki-laki itu ya dengerin. Kamu malah egois, Put! Sekarang tau rasa kan, dia pergi tak tahu kemana... "

Tak ada kata-kata yang kuucapkan untuk memprotes ucapan ayah Husna. Air mata yang berbicara. 

"Halah... perempuan di mana saja sama. Cuma bisa nangis..!"

Ayah Husna kesal. Dengan nafas terengah, dia mencoba menahan diri. Tangannya mengepal. Kalau tak ingat aku perempuan mungkin sudah ditinjukan ke arahku. 

"Terserah kamu, mas. Kau salahkan aku terus-terusan pun tak apa."

Aku bangkit dari kursi dan meninggalkan ayah Husna. Aku masuk rumah dan mencari jaket dan kontak motorku. Aku bertekad akan mencari Husna sendiri. 

Kukunci pintu rumah. Kulihat ayah Husna terduduk di kursi, menundukkan kepala. Mungkin dia stres karena Husna menghilang. 

"Sudah...pulanglah, mas. Istrimu pasti menunggumu. Lagipula kalau kamu ke sini hanya untuk marah, lebih baik tadi tak ke sini..."

Aku segera menuju motorku yang terparkir di garasi. 

"Kamu mau ke mana, Put? " ayah Husna membuntutiku. 

Aku menstarter motorku. Kubiarkan sebentar biar mesin panas. 

"Aku akan cari Husna sendiri. Mas pulang saja..."

Kupandang mata ayah Husna yang dulu begitu teduh. 

"Aku adalah ibu yang egois seperti yang mas bilang tadi. Iya. Aku terima. Terserah mas pikir apa tentang aku. Tapi coba tanya ke hati mas, mas bersalah nggak selama ini..."

Kurasa perempuan memang harus kuat mendengar perkataan negatif. Namun tak ada yang salah jika aku sakit hati. 

"Mas itu lebih egois. Tak peduli Husna. Tak peduli aku. Dulu mas tak pernah perjuangkan biar Husna bahagia. Husna begitu merindukan aku, ibunya, terus apa yang mas lakukan? Tak peduli..."

Lama ayah Husna terpaku. Kuambil helm di rak sebelah kiri motorku terparkir. Dia mendekatiku dan tiba-tiba dia memelukku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun